Saturday 27 May 2017

Windows Repairing Drive Automatic Problem | Masalah Perbaikan Drive Otomatis Disk

Windows terkadang melakukan perbaikan pada drive sebagai tindakan pencegahan jika sewaktu-waktu drive, terutama drive C tempat sistem berada, mengalami kerusakan. Seperti tubuh manusia, drive atau disk tempat data perlu perawatan. Untuk orang-orang awam, perawatan ini cukup dengan melakukan langkah sebagai berikut.
atau juga menggunakan aplikasi-aplikasi pendukung semacam AVG Tune Up Utilities yang mampu memberikan pelayanan pembersihan sampah dan perawatan lengkap.
Adakalanya permasalahan terjadi ketika check drive C butuh untuk reboot dan  selanjutnya terlihat seperti ini:

dan kemudian stuck atau terhenti di beberapa persen hingga berjam-jam. Maka, simaklah cerita berikut untuk mengetahui cara menyelesaikannya.
Teleponku berdering lirih terbungkam saku celana ketatku. Agak kesulitan mengambil, aku bangun dari dudukkku setengah berdiri melonggarkan celanaku. Kang Item. "Waalaikumussalam, Kang. Gimana?" Kebiasanku, menyapa sebelum orang yang menelpon menyatakan maksudnya. "Lagi di toko. Kenapa?" Sejenak aku diam memfokuskan pendengaran di antara seliweran raungan kendaraan. "Iya, iya. Bisa. Sekarang aku ke situ. Ok. Waalaikumussalam." Aku berangkat mengemasi barangku, menyentil Iwan. "Aku ke pondok sebentar, kau jaga dulu ya? Kalau ada apa-apa hubungi aku," pesanku tanpa menunggu balasan. Jalanan begitu ramai penuh sesak seperti hari-hari lalu. Sepertinya tidak ada perbedaan meskipun jalan ini menuju tempat yang baru saja heboh karena kasus pengeboman tempo hari. Semoga semakin banyak orang yang dengan waras menghargai kehidupan orang lain.
Kang Item sedang duduk termenung di emperan kantor pondok dengan bibir yang samar berucap entah apa. "Assalamualaikum, Kang."
"Waalaikumussalam, mari langsung masuk saja, Kang." Tanpa sungkan aku nyelonong meski di dalam ada dua Gus kecil, Gus Anam dan Gus Darul. "Kang Jaka," seru kedua putra Abah Ibad. Aku tersenyum lalu merebut tangan kecil itu menciumnya meski selalu saja ditarik. "Darimana Kang?" tanya Gus Anam sementara Gus Darul melanjutkan bermain dengan gadgetnya. "Dari toko, Gus. Libur sekolahnya, Gus?"
"Enggak, emang sudah pulang kok. Jam sebelas tuh, liat." Aku tersenyum lalu melihat layar hitam monitor.
"Ini lho Kang. Kemarin itu kan, Kang Ijo iseng-iseng belajar perawatan komputer. Nah, pagi tadi kuhidupkan komputer sudah kayak gini. Kang Ijo kutelfon katanya gak tahu. Kemarin baik-baik saja katanya," kata Kang Item begitu aku mengalihkan pandangan ke komputer usang milik pondok.
"Owh," aku mengangguk pelan.
"Kenapa komputernya, Pak?" tanya Gus Anam pada Kang Item. "Ini lho, Gus. Dirusakin Kang Ijo."
"Lha Kang Ijo-nya kemana, Pak?"
"Gak tahu, Gus. Paling juga ngopi di kantin. Eh, Gus. Mau es krim gratis gak?" Sementara aku mencoba beberapa langkah perbaikan yang diarahkan orang-orang di dunianya Mbah Google, Kang Item menyusun konspirasi bersama kedua Gus kecil.

Ada beberapa langkah yang bisa dipilih.
1. Tekan berulang-ulang F8 ketika proses booting, atau
2. Tekan dan tahan/berulang-ulang Space-key, tunggu beberapa detik, atau 
3. Jika memang terpaksa harus buat bootable DVD/Disk. Tapi dalam kasus yang kuhadapi ini dengan OS Windows 8, cukup dengan langkah satu, komputer kembali menyala sebagaimana biasa.

"Sudah, Kang."
"Alhamdulillah. Makasih, Kang." 
"Iya, sama-sama, Kang." 
Kang Item duduk di depan komputer sementara aku beranjak hendak kembali ke toko.
"Kang Item suruh apa tadi Gus-nya?" tanyaku sambil mengambil sandalku di depan pintu.
"He?" Kang Item menoleh. "Owh, itu. Biar Kang Ijo jera. Aku iming-imingi Gus Anam dan Gus Darul es krim dari Kang Ijo jika mereka mengadukan ini ke Abah. Biar tahu rasa Kang Ijo." 
"He he. Ya sudah, Kang. Pamit dulu. Assalamualaikum,"
"Waalaikumusalam."

Tuesday 9 May 2017

Font Change After Enter | Font Berubah Setelah Enter?

Pernahkah Anda mengalami perubahan font setelah menekan enter atau backspace entah itu di MS Word atau OneNote? Jika pernah, maka selamat saya ucapkan. Karena Anda berada di tempat yang benar untuk mengatasi dan mengetahui penyebabnya. Ok, silahkan simak cerita di bawah ini.
“Loh?” tiba-tiba saja kami berdua tersentak. “Kok bisa….” Pertanyaan Kang Item tak mampu kujawab meski keseharianku sebagai orang yang selalu berdansa dengan papan keyboard. “Coba sini, Kang,” kataku lalu mengambil alih komando. Klik sana klik sini, mencoba mengganti default font dan… Enter! Masih berubah. Apa yang terjadi? Setiap kali aku menekan enter dan entah bagaimana ceritanya font itu tiba-tiba saja berubah. Masak harus diubah tiap kali ganti paragraph?
“Coba aku searching dulu, Kang. Sampeyan ketik aja dulu seadanya, nanti kalau memang gak bisa biar saya editkan,” kataku sambil sibuk mencari sinyal bukan untuk searching tapi melihat kuota. Mana akhir bulan lagi, keluhku. Sebenarnya apa sih maunya operator, paketan mahal, sinyal sedut senut, hah! Kesal aku dibuatnya.
Setelah yakin bahwa kuota masih cukup untuk sekedar browsing, mulai kutulis di search bar. ‘font berubah setelah enter’ dan sreeet… sepuluh laman pencarian terpampang.. Inilah dia.
Font Change After Enter | Font Berubah Setelah Enter?
Hmm…
Dari yang terlihat, sepertinya belum ada yang mengena dengan yang kucari. Coba saja diubah ke bahasa planet.
Font Change After Enter | Font Berubah Setelah Enter?
OK, coba yang atas.
Font Change After Enter | Font Berubah Setelah Enter?

“Coba sini, Kang.” Kembali kuambil alih laptop using milikku. Mengikuti langkah sesuai apa yang ditunjukkan.
Font Change After Enter | Font Berubah Setelah Enter?


    Hmm…
“Kang, ini tadi Kang Item menulis dari sini langsung atau dari copas di HP?” Kang Item tampak agak bingung sejenak. “Oh, dari copas tadi di Hp. Copas dari aplikasi dokumen di HP. Kenapa emangnya?” tanyanya.
“Owh, pantesan,” Maka kucopas semua yang ada di Word dan kuletakkan di Notepad agar kembali ke default setelah itu baru ku buka lembar blank document baru. Dan voila…
It’s work.
“Alhamdulillah,” ucap kami berdua.

Friday 2 December 2016

Demokrasi, Jangan Berhenti!

Masih menyoal demo hari ini. Sedikit memuakkan jika melihat hari-hari sebelumnya tapi ya sudahlah. Huft... Adrian menghela nafas sedikit lega. Jika semua sudah berakhir ya sudahlah. Toh ini semua damai. Semoga keributan di dunia maya juga mereda tidak lagi saling memprovokasi untuk ikut atau menolak demo. Setiap warga negara berhak dengan pilihannya masing-masing.
Kemanapun channel televisi dipindah, beritanya masih sama. Dan seperti yang sudah diduga, jika melihat status media sosial maka terlihat bersebaran foto aksi demo disertai kekaguman dan kebanggaan. Ribuan like, share dan komentar yang tak jauh beda memenuhi seluruh penjuru. Geser ke bawah sampai mentok pun akan tetap seperti itu.

"Adrian!"
"Hei, Ka. Gimana? Lancar?"
"Alhamdulilah lancar. Kau masih di kamar saja seharian?" Adrian meringis. "Iyalah, mau apalagi?"
"Mending ikut aku saja tadi,"
"Gaklah. Gak seru," candanya sambil terkekeh. Mika merebahan tubuhnya di kasur. "Gak seru gimana sih? Kita ini lagi jihad bro!" ungkapnya berapi-api.
"Amin. Semoga setelah ini kau jadi muslim yang kaffah yang  suka mengaji bukan mencaci," seloroh Adrian.
"Ha ha. Sialan kau!"
"Astaghfirullah! Muslim kok bilang sialan. Istighfar, Ka!"
Wuzzz! Bantal melayang mengenai wajah Adrian yang terkekeh melihat temannya bermuka sebal. "Muslim itu sabar bro!"
"Ah, terserah kaulah. Aku mau tidur, capek," Mika mulai memejamkan mata. Baju putihnya sedikit basah. Pecinya tergeletak di sampingnya. Adrian masih sibuk memilih antara televsi yang beritanya itu-itu saja dan media sosial yang juga itu-itu saja.
Segala hal ada hikmahnya. Tak terkecuali yang terjadi hari ini. Semoga semuanya berjalan lancar sampai semuanya kembali ke rumah masing-masing. Karena seperti aksi sebelumnya yang ternyata di penghujung acara ada sedikit percikan konflik, semoga aksi kali ini benar-benar damai sampai ke dunia maya.
Sempat heboh juga dirinya ketika sehari sebelumnya, melihat perseteruan grup kampusnya. Terutama anak rohis yang kemana-mana membawa slogan-slogan tajdiidul iman tapi membuat statement sedikit provokasi. Ada yang mengatakan gak ikut berarti pengecut, gak peduli agama, bahkan ada beberapa yang benar-benar keras. Memvonis secara nyata bahwa yang kontra aksi 212 adalah orang yang tak beriman. Sedikit lebih halus dibanding dibilang kafir.
Benar-benar panas saat itu. Bahkan tadi subuh hari pun, beratus-ratus komentar saling berbalas mulai jam 3 dini hari. Adrian memilih mendiamkan handphonenya, membuatnya senyap sampai dilihatnya tadi ada sekitar 300 pesan belum terbaca dari satu grup. Dan sekarang bunyi pesan masuk bergantian. Bukan lagi tentang vonis-vonis tapi beralih menjadi foto-foto selfie saat aksi. Dengan latar ribuan massa berpakaian serba putih, mereka asyik berfoto sambil mengangkat tingi-tinggi slogan mereka, tuntutan mereka. Satu yang menjadi perhatian Adrian. Lafadz itu.  Apakah nantinya masih dijunjung sampai pulang ataukah dimasukkan ke karung lalu dibakar.
Lafadz itu bukan sembarang lafadz. Dengan lafadz itu kerajaan termegah tumbang, kesombongan teringgi runtuh. Lafadz yang menjadi dalang dari semua sendi kehidupan, menebarkan harapan dan menjanjikan keadilan. Maka sudah seyogyanya jika lafadz itu harus dijnjung tinggi kemanapun dan dimanapun berada. Maka saat melihatnya tertempel di dahi dan berkibar di bendera, tak ayal hal itu menyita perhatian Adrian. Sampai kapan lafadz itu mengudara? Sampai mana lafadz itu terangkat tinggi? Jika hanya sekedar tempelan dahi dan kibaran bendera, lalu hilang tak berbekas, bukankah itu lebih menistakan secara nyata?
Ah, sudahlah. Adrian lebih percaya pada saudara muslimnya. Tak ada gunanya berpraangka buruk. Semua sudah berakhir. Biarkan yang pro berbangga dan yang kontra kembali berdamai. Perbedaan prinsip seharusnya tak membuat persaudaraan meregang. Tapi jangan juga saling memprovokasi. Biarkan yang kiri tetap di kiri dan yang kanan tetap di kanan. Jika semua di kiri atau kanan, maka tak seorang pun orang normal yang akan memakai sandal di kaki sebelah saja. JIka kiri tetap di kiri begitu pula yang kanan, maka mereka akan bersaing saling mendahului hingga akhirnya berjajar rapi di emperan masjid.

Monday 3 October 2016

Aceh gayo dan saya

Saya sedang mencoba merasakan kopi Aceh Gayo. Terasa pahit tapi sedikit berbeda dari kopi tradisional yang biasa saya minum. Sesuatu yang berbeda. Tertegun dan kembali terpikirkan, bahkan pahit pun bisa berbeda. Sebenarnya berapa banyak level pahit yang tercipta sehingga rasa pahit itu bisa berbeda satu sama lain meski hanya sepersekian saja?
Entahlah. Dan selalu akan mentok di situ jika kita hanya mau bertanya tapi tak berusaha mengerti. Owh, saya tiba-tiba menjadi bijak. Ayolah, semua orang bisa menjadi bijak dalam sekejap kan? Bahkan maling pun bisa berdasi bersepatu mengkilap.
Kembali saya seruput kopi aceh gayo tadi. Dan, entahlah mungkin karena saya penikmat kopi amatiran maka rasanya kembali berbeda. Ha ha. Menertawakan diri sendiri untuk kesekian kalinya. Katanya orang besar itu yang bisa menertawakan dirinya sendiri. Kenapa? Bah! Pikir sendirilah. Saya sedang berbagi cerita bukan mau menggurui.
Postingan ini sebenarnya hanya pengisi waktu senggang saya yang sudah terlalu banyak. So, bernilai tidaknya sesuatu tergantung pov(point of view)-nya. Paham kan dengan pov? Gk paham ya sudahlah.

Sunday 24 January 2016

Mengembalikan Aplikasi Android yang Pernah Dihapus

Assalamualaikum semua! Selamat pagi dan selamat beraktivitas kembali di pagi yang cerah ini. Mumpung masih pagi ada baiknya kalo jalan-jalan atau keluar rumah, hirup udara segar sebanyak-banyaknya biar sehat.
Bicara tentang gadget memang tidak ada habisnya. Seiring dengan majunya angka tahun, (saya tidak menggunakan kata kemajuan jaman karena sudah terlalu mainstream, ha ha) maka kebutuhan manusia juga selalu bertambah. Apalagi kalo bukan butuh untuk lebih memudahkan hidup dengan menggunakan gadget. Yah, dan itulah mengapa sekarang ini lebih banyak orang gemuk daripada orang normal. He he.
Kadang ada saat dimana kita ingin menggunakan kembali aplikasi yang dulu pernah kita pakai dan karena suatu hal kemudian kita menguninstalnya. Bagi yang lagi MPW (Manusia Pencari Wifi), mungkin memang mudah untuk kemudian menginstal kembali aplikasi yang dulu pernah ada. Bahkan untuk aplikasi dengan data bergiga-giga semacam game. Tapi bagi yang MKK (Manusia Kekurangan Kuota) menginstal aplikasi adalah sesuatu yang perlu untuk dipertimbangkan matang-matang. Karena urusannya bisa sangat panjang. Bagaimana bisa? Mari saya contohkan.
Suatu saat Anda, dengan status MKK, pengen banget instal satu aplikasi android yang dulu pernah Anda hapus. Tanpa melihat berapa kuota yang tersisa, Anda langsung begitu saja instal dari Play Store. Dan voila! Kuota Anda habis sebelum aplikasi berhasil diinstal. Dan yang terjadi selanjutnya adalah Anda menjadi sasaran kemarahan pacar, teman bahkan keluarga. Jangan tanya kenapa karena notifikasi BBM, Whatsaap dan aplikasi chat lainnya mati. Padahal orang sekarang lebih mengandalkan chatting daripada lewat sms yang sekarang mulai tergeser penggunaannya karena lebih murah. Dan kata ‘murah’ adalah kata yang menduduki kasta teratas dalam kursi perbendaharaan kata di negeriku tercinta ini. 
Ok, jadi itulah akibat dari perbuatan orang-orang yang semoga kita dijauhkan darinya. Selanjutnya, disini saya akan memberi satu solusi jitu untuk menangani masalah kerinduan akan aplikasi yang telah hilang. Saya biasa menggunakan Titanium Backup. Tapi dengan syarat HH Anda harus sudah berstatus root.
Titanium Backup akan mem-backup semua aplikasi Anda. Dengan adanya backup dari aplikasi, maka bisa disimpan di komputer. Dan suatu saat Anda ingin menggunakannya kembali, tinggal copykan file backup aplikasi tadi di folder Titanium backup dan voila! Semuanya kembali seperti semula.
Berikut tampilan dari aplikasi super ini :





Selain mem-backup aplikasi, Anda bisa memindahkan aplikasi ke kartu SD sehingga penyimpanan telepon lebih lega. Selain itu, Anda bisa membekukan aplikasi bawaan HH Anda. Maksudnya, mungkin ada beberapa aplikasi bawaan HH Anda yang kurang berguna bagi Anda. Daripada menghabiskan kuota internet dan memenuhi RAM yang berakibat lemotnya HH kesayangan Anda, lebih Anda freeze atau dibekukan. Dengan freeze, maka aplikasi takkan berjalan di belakang. Jika memang Anda merasa tidak memerlukan aplikasi bawaan HH, Anda bisa menguninstal dengan Titanium Backup. Tapi hati-hati! Jangan salah pilih, karena jika salah, bisa-bisa HH malah bootloop. Yah, meskipun kata orang, gak bootloop gak ganteng. Ha ha ha. 
NB : Data yang harus ditaruh dalam folder berbeda dari folder instal Android juga akan di-backup. Data aplikasi, biasanya data game yang ditaruh di kartu SD, tidak akan ikut di-backup. Maka, jika Anda ingin menginstal kembali aplikasi dengan data yang disendirikan, Anda juga harus memastikan data yang diperlukan ada di folder seharusnya (biasanya di folder Obb).
Kaliwungu, 24 Januari 2016, 07.54

Saturday 23 January 2016

Sesuatu yang Halus Itu...

“Alhamdulillah,”
“Alhamdulillah,” Kang Ijo meniru ucapan Kang Item. Berdua, mereka duduk bersila menghadap ke arah emperan masjid yang masih dipenuhi para santri yang duduk khidmat menghadap kitabnya. Dari depan kamarnya, suara serak Kyai Sepuh terdengar samar-samar. Kalah dengan deruan bising motor dan kendaraan lainnya di jalan raya depan masjid. 
“Jo, kamu lihat itu! Kyai Sepuh seakan tak peduli dengan suara kendaraan yang berlalu lalang di depan masjid. Padahal sering kita sendiri saat beribadah dan terdengar berisik dari teman-teman kita, terbersit dalam hati untuk memarahi mereka karena mengganggu orang beribadah.”
“Iya, Kang. Saya juga pernah seperti itu. Waktu saya sedang ngaji, dari kamar sebelah malah terdengar guyonan keras-keras. Jadinya saya juga ikut mengeraskan suara saya biar mereka dengar kalo ada orang sedang ngaji. Tapi apa itu salah, Kang?”
“Tafsil, Jo.”
“Diperinci bagaimana, Kang?”

“Kalau saat itu kita merasa bahwa kita yang harus dihormati karena sedang beribadah, maka kita sedang takabur yang sangat halus. Seharusnya yang dihormati adalah mengajinya bukan kitanya. Kalau kita mengeraskan suara karena agar bisa didengar, maka posisi kita selayaknya imam dalam sholat.”
“Gimana itu Kang posisi imam dalam sholat?”
“Posisi imam dalam sholat, memang disunanhkan untuk mengeraskan suara. Tapi niatnya bukan agar didengar oleh makmum, tapi niat karena melakukan sunnah. Kalau imam mengeraskan suara dengan niat agar bisa didengar makmum, batal sudah sholatnya.”
“Owh, iya, Kang. Terus hubungannya dengan suara mengaji?”
“Berarti kalau kamu mengeraskan suara agar didengar orang lain, maka ya salah. Kalau kamu mengeraskan suara dengan niat memberi tahu orang lain agar mneghormati orang mengaji, maka ya boleh saja.”
“Intinya sama dengan dawuh Kyai Sepuh yang dulu itu, bahwa dalam beribadah jangan melakukannya karena manusia atau karena makhluk. Karena itu takabur khofi, kesombongan yang samar dan halus hingga hanya orang-orang yang benar-benar teliti yang bisa melihatnya. Itu kan, Kang?”
“Iya bener, Jo. Maka itulah kita harus selalu istighfar karena ya seperti itu. Banyak sekali dosa-dosa yang kadang kita belum bisa melihatnya karena benar-benar samar.”
“Astaghfirullah,” Kang Ijo menunduk dan menghela napas. Ternyata banyak sekali hal-hal samar yang tersembunyi dalam sebuah perbuatan, entah berupa perkataan atau perlakuan kita. 
“Astaghfirullah wal hamdulillaah,”
“Jadi, Kang. Ketika kita dalam keadaan seperti itu, kita baiknya gimana?”
“Ya seperti Kyai Sepuh itu. Terus saja mengaji tak peduli dengan orang lain yang sedang sibuk dengan urusannya. Mudahnya, lakum a’malukukm wa lana a’maluna. Bagimu amalmu dan bagiku amalku.”
“Owh, masya Allah. Subahanallah.”
“Kenapa, Jo?”
“Saya teringat waktu di akhir saya mengaji, saya membaca man ‘amala shoolichan falinafsihi wa man  asaa a fa’alaiha.”
“Owh, subhanallah memang Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Memberi Petunjuk.”
“Iya, Kang. Penjabaran dari lakum diinukum waliyad diin.”
“Tapi itulah, Jo. Sekarang ini banyak orang yang ‘memaksa’ orang lain untuk ikut-ikutan menjadi dirinya, memaksa orang untuk beribadah sepertinya, sholat sepertinya dan bahkan berjalan sepertinya.”
“Dan benci kalau orang lain masih beribadah seperti para ulama, kayak kasus tahlil maulid dan ziaroh itu kan, Kang?”
“Iya, Jo. Sudahlah, posisi kita saat ini bukan untuk memaksa sadar orang yang memaksa orang lain itu, kita hanya bisa berdoa dan menasehati dengan cara yang halus.”
“Iya, Kang.”
“Wallahu a’lam bish-showab.” Dan bubarlah para santri menuju kamarnya masing-masing untuk segera melakukan aktivitas harian mereka. Ada yang sekolah, ada yang bekerja. Biarlah, memang semua ada tempat dan waktunya sendiri.
Kaliwungu, 19 Januari 2016, 07.29

Calon-Calon Koruptor

Alifa berlari sembari menangis. Beberapa orang tua yang menjemput anaknya saling bertanya-tanya. Meski begitu tak ada satupun orang tua yang menahan anak kecil berjilbab itu. Dan Alifa terus berlari dengan membawa tangisnya sampai di rumah. Ibunya yang sedang menjahit kaget melihat anak putrinya langsung memeluknya dengan isak tangis.
“Alifa, sayang. Ada apa? Pulang-pulang kok nangis?” Ibu Alifa menggendong anaknya menuju ke sofa. Dengan masih dipeluk, Ibu mengelus-elus kepala anaknya. “Cup cup, sayang. Anak ibu kok cengeng sih?”
Alifa berusah meredakan tangisnya. Perlahan melepaskan tangannya dari pelukan ibunya. Masih terisak, Alifa berkata, “Bu, apakah tidak memberi contekan teman itu salah?”
Berkerut kening ibunya. Sejenak kemudian Ibu tersenyum mengerti. “Nduk, memberi contekan itu perbuatan yang salah, dilarang agama.”
“Terus kenapa teman-teman semuanya memarahi Alifa karena tidak mau memberi contekan?”
“Karena mereka adalah anak-anak nakal yang tidak taat agama. Mereka adalah contoh anak yang tidak boleh ditiru perilakunya. Memberi contekan, entah apapun itu bentuknya dilarang oleh agama kita. Karena dengan memberi contekan berarti kita menolong untuk berbuat salah. Nah, orang yang menolong perbuatan salah sama saja dengan berbuat salah.”
“Jadi Alifa nggak salah?” reda sudah tangis Alifa.
Ibu mengangguk dengan senyumnya yang menyejukkan. “Karena Alifa pinter, makanya mereka iri. Mereka iri dengan Alifa karena bisa mengerjakan soal. Tapi mereka tidak mau belajar. Pengen yang langsung tidak mau berusaha itu tanda orang yang ....”
“Yang malas!”
“Pinter!” Ibu mencium kening anaknya. Alifa tersenyum sejenak tapi kemudian menunduk.
“Kenapa lagi sayang?”
“Kalau mereka marah sama Alifa lagi, Alifa harus bilang apa Bunda?”
“Hmm...,” Ibu terdiam sejenak. “Begini, kalau temen Alifa yang nakal itu marah sama Alifa, Alifa jawab begini saja. Salah sendiri tidak mau belajar. Nggak belajar kok minta nilai bagus?”
“He he. Terima kasih Bunda. Alifa sayang Bunda,” Alifa memeluk mesra anak putrinya. Dalam hati, Ibu prihatin dengan keadaan pendidikan di negeri ini. Jika masih pendidikan dasar saja sudah terpikir untuk membohongi diri sendiri, maka pantas sudah kalau besarnya menjadi orang yang pintar bersilat lidah. Tidak mau bekerja keras tapi pengen kaya. Maka muncullah koruptor dan anak turunnya.
“Alifa tadi kok nangis kenapa, Bun?” Irma, kakak Alifa yang baru keluar dari kamar duduk di samping ibunya setelah Alifa masuk kamar berganti baju.
“Itu lho. Kayak kamu SMP dulu.”
“Owh, dicontekin?”
“Iya, malah lebih parah. Adik kamu itu dimarahi teman-temannya karena tidak mau memberi contekan.”
“Padahal masih SD, tapi kok sudah kayak gitu ya Bun?”
“Ibu juga nggak paham dengan perilaku anak-anak jaman sekarang. Kecilnya saja kayak gitu apalagi besarnya nanti?”
“Ya, kayak orang-orang di TV itu. KORUPTOR!”
Kaliwungu, 14 Januari 2016, 17.40