Sunday 24 January 2016

Mengembalikan Aplikasi Android yang Pernah Dihapus

Assalamualaikum semua! Selamat pagi dan selamat beraktivitas kembali di pagi yang cerah ini. Mumpung masih pagi ada baiknya kalo jalan-jalan atau keluar rumah, hirup udara segar sebanyak-banyaknya biar sehat.
Bicara tentang gadget memang tidak ada habisnya. Seiring dengan majunya angka tahun, (saya tidak menggunakan kata kemajuan jaman karena sudah terlalu mainstream, ha ha) maka kebutuhan manusia juga selalu bertambah. Apalagi kalo bukan butuh untuk lebih memudahkan hidup dengan menggunakan gadget. Yah, dan itulah mengapa sekarang ini lebih banyak orang gemuk daripada orang normal. He he.
Kadang ada saat dimana kita ingin menggunakan kembali aplikasi yang dulu pernah kita pakai dan karena suatu hal kemudian kita menguninstalnya. Bagi yang lagi MPW (Manusia Pencari Wifi), mungkin memang mudah untuk kemudian menginstal kembali aplikasi yang dulu pernah ada. Bahkan untuk aplikasi dengan data bergiga-giga semacam game. Tapi bagi yang MKK (Manusia Kekurangan Kuota) menginstal aplikasi adalah sesuatu yang perlu untuk dipertimbangkan matang-matang. Karena urusannya bisa sangat panjang. Bagaimana bisa? Mari saya contohkan.
Suatu saat Anda, dengan status MKK, pengen banget instal satu aplikasi android yang dulu pernah Anda hapus. Tanpa melihat berapa kuota yang tersisa, Anda langsung begitu saja instal dari Play Store. Dan voila! Kuota Anda habis sebelum aplikasi berhasil diinstal. Dan yang terjadi selanjutnya adalah Anda menjadi sasaran kemarahan pacar, teman bahkan keluarga. Jangan tanya kenapa karena notifikasi BBM, Whatsaap dan aplikasi chat lainnya mati. Padahal orang sekarang lebih mengandalkan chatting daripada lewat sms yang sekarang mulai tergeser penggunaannya karena lebih murah. Dan kata ‘murah’ adalah kata yang menduduki kasta teratas dalam kursi perbendaharaan kata di negeriku tercinta ini. 
Ok, jadi itulah akibat dari perbuatan orang-orang yang semoga kita dijauhkan darinya. Selanjutnya, disini saya akan memberi satu solusi jitu untuk menangani masalah kerinduan akan aplikasi yang telah hilang. Saya biasa menggunakan Titanium Backup. Tapi dengan syarat HH Anda harus sudah berstatus root.
Titanium Backup akan mem-backup semua aplikasi Anda. Dengan adanya backup dari aplikasi, maka bisa disimpan di komputer. Dan suatu saat Anda ingin menggunakannya kembali, tinggal copykan file backup aplikasi tadi di folder Titanium backup dan voila! Semuanya kembali seperti semula.
Berikut tampilan dari aplikasi super ini :





Selain mem-backup aplikasi, Anda bisa memindahkan aplikasi ke kartu SD sehingga penyimpanan telepon lebih lega. Selain itu, Anda bisa membekukan aplikasi bawaan HH Anda. Maksudnya, mungkin ada beberapa aplikasi bawaan HH Anda yang kurang berguna bagi Anda. Daripada menghabiskan kuota internet dan memenuhi RAM yang berakibat lemotnya HH kesayangan Anda, lebih Anda freeze atau dibekukan. Dengan freeze, maka aplikasi takkan berjalan di belakang. Jika memang Anda merasa tidak memerlukan aplikasi bawaan HH, Anda bisa menguninstal dengan Titanium Backup. Tapi hati-hati! Jangan salah pilih, karena jika salah, bisa-bisa HH malah bootloop. Yah, meskipun kata orang, gak bootloop gak ganteng. Ha ha ha. 
NB : Data yang harus ditaruh dalam folder berbeda dari folder instal Android juga akan di-backup. Data aplikasi, biasanya data game yang ditaruh di kartu SD, tidak akan ikut di-backup. Maka, jika Anda ingin menginstal kembali aplikasi dengan data yang disendirikan, Anda juga harus memastikan data yang diperlukan ada di folder seharusnya (biasanya di folder Obb).
Kaliwungu, 24 Januari 2016, 07.54

Saturday 23 January 2016

Sesuatu yang Halus Itu...

“Alhamdulillah,”
“Alhamdulillah,” Kang Ijo meniru ucapan Kang Item. Berdua, mereka duduk bersila menghadap ke arah emperan masjid yang masih dipenuhi para santri yang duduk khidmat menghadap kitabnya. Dari depan kamarnya, suara serak Kyai Sepuh terdengar samar-samar. Kalah dengan deruan bising motor dan kendaraan lainnya di jalan raya depan masjid. 
“Jo, kamu lihat itu! Kyai Sepuh seakan tak peduli dengan suara kendaraan yang berlalu lalang di depan masjid. Padahal sering kita sendiri saat beribadah dan terdengar berisik dari teman-teman kita, terbersit dalam hati untuk memarahi mereka karena mengganggu orang beribadah.”
“Iya, Kang. Saya juga pernah seperti itu. Waktu saya sedang ngaji, dari kamar sebelah malah terdengar guyonan keras-keras. Jadinya saya juga ikut mengeraskan suara saya biar mereka dengar kalo ada orang sedang ngaji. Tapi apa itu salah, Kang?”
“Tafsil, Jo.”
“Diperinci bagaimana, Kang?”

“Kalau saat itu kita merasa bahwa kita yang harus dihormati karena sedang beribadah, maka kita sedang takabur yang sangat halus. Seharusnya yang dihormati adalah mengajinya bukan kitanya. Kalau kita mengeraskan suara karena agar bisa didengar, maka posisi kita selayaknya imam dalam sholat.”
“Gimana itu Kang posisi imam dalam sholat?”
“Posisi imam dalam sholat, memang disunanhkan untuk mengeraskan suara. Tapi niatnya bukan agar didengar oleh makmum, tapi niat karena melakukan sunnah. Kalau imam mengeraskan suara dengan niat agar bisa didengar makmum, batal sudah sholatnya.”
“Owh, iya, Kang. Terus hubungannya dengan suara mengaji?”
“Berarti kalau kamu mengeraskan suara agar didengar orang lain, maka ya salah. Kalau kamu mengeraskan suara dengan niat memberi tahu orang lain agar mneghormati orang mengaji, maka ya boleh saja.”
“Intinya sama dengan dawuh Kyai Sepuh yang dulu itu, bahwa dalam beribadah jangan melakukannya karena manusia atau karena makhluk. Karena itu takabur khofi, kesombongan yang samar dan halus hingga hanya orang-orang yang benar-benar teliti yang bisa melihatnya. Itu kan, Kang?”
“Iya bener, Jo. Maka itulah kita harus selalu istighfar karena ya seperti itu. Banyak sekali dosa-dosa yang kadang kita belum bisa melihatnya karena benar-benar samar.”
“Astaghfirullah,” Kang Ijo menunduk dan menghela napas. Ternyata banyak sekali hal-hal samar yang tersembunyi dalam sebuah perbuatan, entah berupa perkataan atau perlakuan kita. 
“Astaghfirullah wal hamdulillaah,”
“Jadi, Kang. Ketika kita dalam keadaan seperti itu, kita baiknya gimana?”
“Ya seperti Kyai Sepuh itu. Terus saja mengaji tak peduli dengan orang lain yang sedang sibuk dengan urusannya. Mudahnya, lakum a’malukukm wa lana a’maluna. Bagimu amalmu dan bagiku amalku.”
“Owh, masya Allah. Subahanallah.”
“Kenapa, Jo?”
“Saya teringat waktu di akhir saya mengaji, saya membaca man ‘amala shoolichan falinafsihi wa man  asaa a fa’alaiha.”
“Owh, subhanallah memang Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Memberi Petunjuk.”
“Iya, Kang. Penjabaran dari lakum diinukum waliyad diin.”
“Tapi itulah, Jo. Sekarang ini banyak orang yang ‘memaksa’ orang lain untuk ikut-ikutan menjadi dirinya, memaksa orang untuk beribadah sepertinya, sholat sepertinya dan bahkan berjalan sepertinya.”
“Dan benci kalau orang lain masih beribadah seperti para ulama, kayak kasus tahlil maulid dan ziaroh itu kan, Kang?”
“Iya, Jo. Sudahlah, posisi kita saat ini bukan untuk memaksa sadar orang yang memaksa orang lain itu, kita hanya bisa berdoa dan menasehati dengan cara yang halus.”
“Iya, Kang.”
“Wallahu a’lam bish-showab.” Dan bubarlah para santri menuju kamarnya masing-masing untuk segera melakukan aktivitas harian mereka. Ada yang sekolah, ada yang bekerja. Biarlah, memang semua ada tempat dan waktunya sendiri.
Kaliwungu, 19 Januari 2016, 07.29

Calon-Calon Koruptor

Alifa berlari sembari menangis. Beberapa orang tua yang menjemput anaknya saling bertanya-tanya. Meski begitu tak ada satupun orang tua yang menahan anak kecil berjilbab itu. Dan Alifa terus berlari dengan membawa tangisnya sampai di rumah. Ibunya yang sedang menjahit kaget melihat anak putrinya langsung memeluknya dengan isak tangis.
“Alifa, sayang. Ada apa? Pulang-pulang kok nangis?” Ibu Alifa menggendong anaknya menuju ke sofa. Dengan masih dipeluk, Ibu mengelus-elus kepala anaknya. “Cup cup, sayang. Anak ibu kok cengeng sih?”
Alifa berusah meredakan tangisnya. Perlahan melepaskan tangannya dari pelukan ibunya. Masih terisak, Alifa berkata, “Bu, apakah tidak memberi contekan teman itu salah?”
Berkerut kening ibunya. Sejenak kemudian Ibu tersenyum mengerti. “Nduk, memberi contekan itu perbuatan yang salah, dilarang agama.”
“Terus kenapa teman-teman semuanya memarahi Alifa karena tidak mau memberi contekan?”
“Karena mereka adalah anak-anak nakal yang tidak taat agama. Mereka adalah contoh anak yang tidak boleh ditiru perilakunya. Memberi contekan, entah apapun itu bentuknya dilarang oleh agama kita. Karena dengan memberi contekan berarti kita menolong untuk berbuat salah. Nah, orang yang menolong perbuatan salah sama saja dengan berbuat salah.”
“Jadi Alifa nggak salah?” reda sudah tangis Alifa.
Ibu mengangguk dengan senyumnya yang menyejukkan. “Karena Alifa pinter, makanya mereka iri. Mereka iri dengan Alifa karena bisa mengerjakan soal. Tapi mereka tidak mau belajar. Pengen yang langsung tidak mau berusaha itu tanda orang yang ....”
“Yang malas!”
“Pinter!” Ibu mencium kening anaknya. Alifa tersenyum sejenak tapi kemudian menunduk.
“Kenapa lagi sayang?”
“Kalau mereka marah sama Alifa lagi, Alifa harus bilang apa Bunda?”
“Hmm...,” Ibu terdiam sejenak. “Begini, kalau temen Alifa yang nakal itu marah sama Alifa, Alifa jawab begini saja. Salah sendiri tidak mau belajar. Nggak belajar kok minta nilai bagus?”
“He he. Terima kasih Bunda. Alifa sayang Bunda,” Alifa memeluk mesra anak putrinya. Dalam hati, Ibu prihatin dengan keadaan pendidikan di negeri ini. Jika masih pendidikan dasar saja sudah terpikir untuk membohongi diri sendiri, maka pantas sudah kalau besarnya menjadi orang yang pintar bersilat lidah. Tidak mau bekerja keras tapi pengen kaya. Maka muncullah koruptor dan anak turunnya.
“Alifa tadi kok nangis kenapa, Bun?” Irma, kakak Alifa yang baru keluar dari kamar duduk di samping ibunya setelah Alifa masuk kamar berganti baju.
“Itu lho. Kayak kamu SMP dulu.”
“Owh, dicontekin?”
“Iya, malah lebih parah. Adik kamu itu dimarahi teman-temannya karena tidak mau memberi contekan.”
“Padahal masih SD, tapi kok sudah kayak gitu ya Bun?”
“Ibu juga nggak paham dengan perilaku anak-anak jaman sekarang. Kecilnya saja kayak gitu apalagi besarnya nanti?”
“Ya, kayak orang-orang di TV itu. KORUPTOR!”
Kaliwungu, 14 Januari 2016, 17.40

Anak Negeri untuk Bunda

Anak negeri, kini banyak yang beralih ke negeri seberang. Mereka melihat negeri mereka sendiri ngeri. Dipenuhi koruptor, kelicikan-kelicikan, semua konspirasi yang saling menjatuhkan. Mereka jenuh dengan semua perbuatan. Mereka pun mencari obat hati dengan pasokan minuman keras dan obat-obatan yang ‘dihalalkan’. Dihalalkan oleh orang-orang yang berkepentingan, diedarkan oleh mereka yang berbisnis terlarang. 
Anak negeri, memang tak banyak kita dengar prestasi dari mereka. Bukan karena jarang atau bahkan tidak ada. Tapi media membungkam paksa. Prestasi seakan menjadi penyakit bagi negeri adidaya. Bagi Bunda yang dijajah anaknya.
Anak negeri, mereka lalu menyebrang lautan. Mencari Bunda lain yang anaknya setia mengobati bukan malah menyakiti. Bukan maksud mengkhiananti. Tapi apalah daya jika banyak anak lain yang iri atas kehebatan mereka yang tak mau dijadikan komoditi. Mereka, anak-anak yang iri, mungkin bukanlah anak negeri. Bisa jadi.
Anak negeri yang iri, mereka dulu kecil dan dibesarkan Bunda yang mereka khianati. Mereka belajar dan sekolah, dibimbing oleh anak-anak negeri yang tulus memberi. Mereka lulus dengan nilai yang membanggakan tapi mereka salah gunakan. Mereka menjadi suka memanipulasi, membohongi dan melakukan konspirasi. Hanya untuk diri bukan untuk Bunda yang disakiti. 
Anak negeri yang iri, menjual harga diri di depan Bunda yang menangis. Menjual semua kekayaan bumi pertiwi di hadapan Bunda yang meradang menahan emosi. Memperdagangkan segala yang bisa membuat diri lebih berarti di hadapan kursi-kursi. 
Maka, jangan salahkan Bunda memberi sabetan rotan. Memberi perih di seluruh pelosok negeri. Membuang semua hal-hal yang sudah tak pantas lagi. Karena Bunda ingin memberi. Memberi peringatan untuk kita anak-anak negeri. Yang masih setia mengobati Sang Bunda Pertiwi.
Maka, anak negeri, teruslah berprestsai biarpun media merantai kaki.
Maka, anak negeri yang iri, lihatlah dirimu sendiri yang kini tak punya harga diri.
Maka, Bunda Pertiwi, maafkan kami yang masih saling mendengki.
Kaliwungu, 13 Januari 2016, 06.18

Tuesday 12 January 2016

Air Mineral dan Fluoride yang ‘katanya’ Beracun

“Alhamdulillah,” Kang Item meletakkan botol minumannya kembali. Cuaca yang panas dirasanya beberapa hari ini. Padahal seharusnya sudah masuk musim hujan. Tapi entah kenapa Sang Pemilik Hujan seperti enggan mengirim rahmat-Nya untuk hamba-hamba tak tahu diri seperti dirinya. Begitu pikir Kang Item.
“Assalamualaikum,” Kang Ijo duduk. Demi melihat ada botol minuman di meja, Kang Ijo langsung bertanya. “Loh, Kang! Kok minum ini?” Kang Ijo mengambil botol dan mengarahkan merknya pada Kang Item.
“Lha, emang kenapa, Jo?”
“Loh, Kang Item belum dengar tho kalo minuman merk ini produknya Zionis? Produknya musuh islam Kang!”
“Loh, masak?”
“Iya, Kang. Wong kemarin orang-orang kumpul ngomongin ini kok?”
“Hmm, kamu berarti cuma denger gosipnya dong, Jo?”
“Bukanlah, Kang! Kok gosip to? Saya denger dari Kang Rahman, abdi dalemnya Kyai Syahrul.”
“Gimana katanya?”
“Kemarin malam ada tamu dari luar kota mampir sowan ke Kyai Syahrul. Terus cerita banyak soal air mineral dengan merk ini, Kang. Bahkan kemarin kata Kang Rahman pake tes dengan alat apa gitu dan hasilnya positif ada racunnya. Florida kalo gak salah anma racunnya.”
“Fluoride, Jo. Itu yang biasanya ada dalam pasta gigi.”
“Lah, kok Kang Item tahu?”
“Kebetulan Jo kamu di sini.” Kang Item mengeluarkan tabletnya.
“Mau apa, Kang?” tanya Kang Ijo.
“Saya mau menunjukkan dasar pendapat saya, Jo.”
“Loh? Maksudnya?”
“Kita berpendapat kan harus ada dasarnya?” jawab Kang Item sambil tetap sibuk dengan tabletnya. Pencet sana pencet sini. Keyword yang diketiknya tentang Fluoride dan bahayanya.
“Nah, ini Jo. Coba kamu baca,” Kang Ijo menerima tablet Knag Item dengan kurang lebih tujuh tab di browsernya. Baru sekilas baca, Kang Ijo langsung merenges. 
“He he.”
“Gimana?”
“Saya nggak paham, Kang. Bahasanya bukan bahasa kita,” kata Kang Ijo sambil menyerahkan tabletnya kembali. 
“Makanya Jo. Jadi orang itu harus banyak belajar biar nggak ketinggalan jaman. Biar aku bacakan.”
Kang Ijo memperbaiki duduknya dan memasang wajah serius.
“Begini Jo. Aku buka satu situs internasional khusus masalah kesehatan lalu dicari artikel tentang Fluoride. Dan hasilnya ini.”

http://news.health.com/2015/02/25/fluoride-in-drinking-water-tied-to-higher-rates-of-underactive-thyroid/
"Ada penelitian di Inggris menyatakan bahwa kemungkinan ada hubungan Fluoride dengan kelenjar tiroid. Tapi hal itu disangkal oleh kedokteran di U.S.”
“US itu apa, Kang?”
“United States, Jo. Itu lho negara barat,”
“Negara Barat itu yang...”
“Ah, sudahlah. Aku terusin bacanya biar kamu tahu alasanku,”
“Oh iya, Kang. Monggo,”
“Lalu ini, Jo,”

http://news.health.com/2014/02/11/dentists-group-expands-recommended-use-of-fluoride-toothpaste-for-kids/
“Para pakar gigi menyarankan atau merekomendasikan adanya Fluoride dalam pasta gigi buat anak, Jo,”
“Loh? Emangnya buat apa, Kang?”
“Dijelaskan bahwasannya Flouride untuk mencegah gigi berlubang, Jo,”
“Owh, gitu to, Kang. Terus?”
“Ada lagi nih, Jo. Dari situs yang berbeda,”

“Ada pernyataan bahwasannya Fluoride itu menjaga gigi anak dengan dua macam cara, Jo,”
“Gimana caranya, Kang?”
“Mmm..., ah aku juga nggak ngerti, Jo. Eh, belum ngerti, Jo”
“Emang ada beda ya Kang antara kurang ngerti dengan belum ngerti?”
“Ya iyalah, Jo. Kurang ngerti itu artinya mandeg, stop cukup di situ saja bahasannya. Tapi kalo belum ngerti berarti ada harapan bahwa kita mau membahasnya lebih jauh lagi,”
“Owh, terus apa gunanya kita bicara dengan membedakan seperti itu, Kang?”
“Bedanya, kita berharap bahwa Gusti Allah akan memberi kita pengetahuan akan apa yang belum kita mengerti. Coba kalo aku bilang ke kamu, aku nggak makan. Bedakan dengan, aku belum makan. Gimana?”
“Iya, ya Kang. Kalo Kang Item bilang nggak makan berarti kemungkinan sudah kenyang. Tapi kalo belum makan berarti Kang Item minta traktiran, He he he.”
“Nah kita terusin yang tadi, Jo. Dengan penjelasan seperti yang sudah kuambil dari website luar yang insya Allah terpercaya itu, kamu sudah paham kan?”
“Ya... sedikit sih, Kang. Intinya ternyata Fluoride itu ada manfaatnya dalam dosis yang tepat.”
“Beul, Jo. Dosis yang disarankan SNI itu tidak melebih 0,5 mg/l kalo tidak salah. Malah yang di luar negeri sana ada yang membatasi dosis Fluoride dalam air mineral sampai 0.75 mg/l atau 1 mg/l. Lupa aku, Jo.”
“Wah, tapi kok orang luar malah banyak yang pinter ya, Kang?”
“Nah makanya itu, Jo. Jika ada berita entah itu darimana, kamu harus teliti dulu sebelum percaya. Berita kan ada yang bohong ada yang benar? Seperti di kitab Maknun itu.”
“Owh, masalah khabar itu to, Kang?”
“Ia, Jo. Namanya khabar atau dalam bahasa kita kabar berita, itu mesti ada yang benar ada yang bohong. Nah, tinggal sebaik apa kita mencari tahu kebenaran itu. Bukan berarti karena mayoritas kemudian bisa kita benarkan. Kebenaran itu buta, Jo. Maksudnya tidak memihak penguasa atau rakyat jelata, tidak mengenal usia, tidak mengenal siapa. Tapi kebenaran hakiki itu hanya milik Allah semata, Jo.”
“Alhamdulillah, Kang.”
“Alhamdulillah. Karena kamu bilang seperti itu, aku tambahin ini, Jo.”
“Apa, Kang?”
“Air Zamzam. Kamu tahu kan?” Kang Ijo mengangguk sambil terus menatap layar. “Ternyata air Zamzam juga mengandung Fluoride yang katanya beracun itu, Jo.”
“Ah, masak to, Kang?”
“Ini kamu lihat sendiri.”

https://en.wikipedia.org/wiki/Zamzam_Well
“Wah, iya Kang. Malah dosisnya lebih dari SNI. Tapi kok di sana nggak ada isu kayak di sini ya, Kang?”
“Ya mungkin kamu aja yang belum tahu atau air Zamzamnya sudah diproses sehingga Fluoridenya hilang atau....”
“Atau memang Fluoride itu tidak berbahaya asal dengan dosis yang tepat.”
“Betul, Jo. Itulah Jo jaman sekarang. Media sekarang bukan lagi media yang dulu.”
“Kayak lirik lagu aja, Kang?”
“Memang benar kan kalo media sekarang ini tidak lagi dikuasai masyarakat tapi dikuasai perorangan. Apalagi yang berkepentingan dengan gosip dan isu. Dengan bumbu yang namanya penelitian ilmiah, bukti-bukti yang mencengangkan padahal direkayasa, kita-kita ini yang belum tahu ilmunya bisa saja terseret begitu saja. Makanya benar kalo orang bilang, yang ketinggalan jaman akan digilas oleh jaman itu sendiri. Media yang seharusnya memberika kebenaran ternyata hanya memberikan informasi yang ingin diberitahukan oleh satu golongan kepada publik. Apalagi dengan acara TV yang sekarang ini. Hadeh!”
“Iya, Kang. Acara TV sekarang jarang ada yang mendidik. Isinya cuma guyonan nggak jelas, kuis berhadiah berkedok judi, apalagi berita-berita artis yang nggak jelas itu, Kang. Halah!”
“Sudahlah Jo. Itu sudah ada yang menangani, tugas kita, orang-orang yang belum bisa menanganinya adalah berdoa semoga semuanya diberi pertolongan Allah. Kita nggak usah menghujat mereka, biarlah doa kita yang mengangkat semua keluhan kita kepada Sang Maha Pengabul Doa.”
“Amin.” Kang Ijo mengambil air botol dan meminum sisanya sampai habis. “Alhamdulillah, seger ya Kang panas-panas gini?”
“Halah emboh, Jo!” kata Kang Item sambil mengalihkan pandangan ke jalan besar yang kini mulai dipadati santri-santri menenteng kitab kuningnya.
Blitar, 12 Januari 2016, 07.18
______________________________
Lebih jelasnya bisa dilihat di sini : http://search.health.com/results.html?Ntt=fluoride