Adakalanya permasalahan terjadi ketika check drive C butuh untuk reboot dan selanjutnya terlihat seperti ini:
Saturday, 27 May 2017
Windows Repairing Drive Automatic Problem | Masalah Perbaikan Drive Otomatis Disk
Adakalanya permasalahan terjadi ketika check drive C butuh untuk reboot dan selanjutnya terlihat seperti ini:
Tuesday, 9 May 2017
Font Change After Enter | Font Berubah Setelah Enter?
Friday, 2 December 2016
Demokrasi, Jangan Berhenti!
Kemanapun channel televisi dipindah, beritanya masih sama. Dan seperti yang sudah diduga, jika melihat status media sosial maka terlihat bersebaran foto aksi demo disertai kekaguman dan kebanggaan. Ribuan like, share dan komentar yang tak jauh beda memenuhi seluruh penjuru. Geser ke bawah sampai mentok pun akan tetap seperti itu.
"Adrian!"
"Hei, Ka. Gimana? Lancar?"
"Alhamdulilah lancar. Kau masih di kamar saja seharian?" Adrian meringis. "Iyalah, mau apalagi?"
"Mending ikut aku saja tadi,"
"Gaklah. Gak seru," candanya sambil terkekeh. Mika merebahan tubuhnya di kasur. "Gak seru gimana sih? Kita ini lagi jihad bro!" ungkapnya berapi-api.
"Amin. Semoga setelah ini kau jadi muslim yang kaffah yang suka mengaji bukan mencaci," seloroh Adrian.
"Ha ha. Sialan kau!"
"Astaghfirullah! Muslim kok bilang sialan. Istighfar, Ka!"
Wuzzz! Bantal melayang mengenai wajah Adrian yang terkekeh melihat temannya bermuka sebal. "Muslim itu sabar bro!"
"Ah, terserah kaulah. Aku mau tidur, capek," Mika mulai memejamkan mata. Baju putihnya sedikit basah. Pecinya tergeletak di sampingnya. Adrian masih sibuk memilih antara televsi yang beritanya itu-itu saja dan media sosial yang juga itu-itu saja.
Segala hal ada hikmahnya. Tak terkecuali yang terjadi hari ini. Semoga semuanya berjalan lancar sampai semuanya kembali ke rumah masing-masing. Karena seperti aksi sebelumnya yang ternyata di penghujung acara ada sedikit percikan konflik, semoga aksi kali ini benar-benar damai sampai ke dunia maya.
Sempat heboh juga dirinya ketika sehari sebelumnya, melihat perseteruan grup kampusnya. Terutama anak rohis yang kemana-mana membawa slogan-slogan tajdiidul iman tapi membuat statement sedikit provokasi. Ada yang mengatakan gak ikut berarti pengecut, gak peduli agama, bahkan ada beberapa yang benar-benar keras. Memvonis secara nyata bahwa yang kontra aksi 212 adalah orang yang tak beriman. Sedikit lebih halus dibanding dibilang kafir.
Benar-benar panas saat itu. Bahkan tadi subuh hari pun, beratus-ratus komentar saling berbalas mulai jam 3 dini hari. Adrian memilih mendiamkan handphonenya, membuatnya senyap sampai dilihatnya tadi ada sekitar 300 pesan belum terbaca dari satu grup. Dan sekarang bunyi pesan masuk bergantian. Bukan lagi tentang vonis-vonis tapi beralih menjadi foto-foto selfie saat aksi. Dengan latar ribuan massa berpakaian serba putih, mereka asyik berfoto sambil mengangkat tingi-tinggi slogan mereka, tuntutan mereka. Satu yang menjadi perhatian Adrian. Lafadz itu. Apakah nantinya masih dijunjung sampai pulang ataukah dimasukkan ke karung lalu dibakar.
Lafadz itu bukan sembarang lafadz. Dengan lafadz itu kerajaan termegah tumbang, kesombongan teringgi runtuh. Lafadz yang menjadi dalang dari semua sendi kehidupan, menebarkan harapan dan menjanjikan keadilan. Maka sudah seyogyanya jika lafadz itu harus dijnjung tinggi kemanapun dan dimanapun berada. Maka saat melihatnya tertempel di dahi dan berkibar di bendera, tak ayal hal itu menyita perhatian Adrian. Sampai kapan lafadz itu mengudara? Sampai mana lafadz itu terangkat tinggi? Jika hanya sekedar tempelan dahi dan kibaran bendera, lalu hilang tak berbekas, bukankah itu lebih menistakan secara nyata?
Ah, sudahlah. Adrian lebih percaya pada saudara muslimnya. Tak ada gunanya berpraangka buruk. Semua sudah berakhir. Biarkan yang pro berbangga dan yang kontra kembali berdamai. Perbedaan prinsip seharusnya tak membuat persaudaraan meregang. Tapi jangan juga saling memprovokasi. Biarkan yang kiri tetap di kiri dan yang kanan tetap di kanan. Jika semua di kiri atau kanan, maka tak seorang pun orang normal yang akan memakai sandal di kaki sebelah saja. JIka kiri tetap di kiri begitu pula yang kanan, maka mereka akan bersaing saling mendahului hingga akhirnya berjajar rapi di emperan masjid.
Monday, 3 October 2016
Aceh gayo dan saya
Saya sedang mencoba merasakan kopi Aceh Gayo. Terasa pahit tapi sedikit berbeda dari kopi tradisional yang biasa saya minum. Sesuatu yang berbeda. Tertegun dan kembali terpikirkan, bahkan pahit pun bisa berbeda. Sebenarnya berapa banyak level pahit yang tercipta sehingga rasa pahit itu bisa berbeda satu sama lain meski hanya sepersekian saja?
Entahlah. Dan selalu akan mentok di situ jika kita hanya mau bertanya tapi tak berusaha mengerti. Owh, saya tiba-tiba menjadi bijak. Ayolah, semua orang bisa menjadi bijak dalam sekejap kan? Bahkan maling pun bisa berdasi bersepatu mengkilap.
Kembali saya seruput kopi aceh gayo tadi. Dan, entahlah mungkin karena saya penikmat kopi amatiran maka rasanya kembali berbeda. Ha ha. Menertawakan diri sendiri untuk kesekian kalinya. Katanya orang besar itu yang bisa menertawakan dirinya sendiri. Kenapa? Bah! Pikir sendirilah. Saya sedang berbagi cerita bukan mau menggurui.
Postingan ini sebenarnya hanya pengisi waktu senggang saya yang sudah terlalu banyak. So, bernilai tidaknya sesuatu tergantung pov(point of view)-nya. Paham kan dengan pov? Gk paham ya sudahlah.
Sunday, 24 January 2016
Mengembalikan Aplikasi Android yang Pernah Dihapus
Saturday, 23 January 2016
Sesuatu yang Halus Itu...
“Kalau saat itu kita merasa bahwa kita yang harus dihormati karena sedang beribadah, maka kita sedang takabur yang sangat halus. Seharusnya yang dihormati adalah mengajinya bukan kitanya. Kalau kita mengeraskan suara karena agar bisa didengar, maka posisi kita selayaknya imam dalam sholat.”