“Alhamdulillah,”
“Alhamdulillah,” Kang Ijo meniru ucapan Kang Item. Berdua, mereka duduk bersila menghadap ke arah emperan masjid yang masih dipenuhi para santri yang duduk khidmat menghadap kitabnya. Dari depan kamarnya, suara serak Kyai Sepuh terdengar samar-samar. Kalah dengan deruan bising motor dan kendaraan lainnya di jalan raya depan masjid.
“Jo, kamu lihat itu! Kyai Sepuh seakan tak peduli dengan suara kendaraan yang berlalu lalang di depan masjid. Padahal sering kita sendiri saat beribadah dan terdengar berisik dari teman-teman kita, terbersit dalam hati untuk memarahi mereka karena mengganggu orang beribadah.”
“Iya, Kang. Saya juga pernah seperti itu. Waktu saya sedang ngaji, dari kamar sebelah malah terdengar guyonan keras-keras. Jadinya saya juga ikut mengeraskan suara saya biar mereka dengar kalo ada orang sedang ngaji. Tapi apa itu salah, Kang?”
“Tafsil, Jo.”
“Diperinci bagaimana, Kang?”
“Kalau saat itu kita merasa bahwa kita yang harus dihormati karena sedang beribadah, maka kita sedang takabur yang sangat halus. Seharusnya yang dihormati adalah mengajinya bukan kitanya. Kalau kita mengeraskan suara karena agar bisa didengar, maka posisi kita selayaknya imam dalam sholat.”
“Kalau saat itu kita merasa bahwa kita yang harus dihormati karena sedang beribadah, maka kita sedang takabur yang sangat halus. Seharusnya yang dihormati adalah mengajinya bukan kitanya. Kalau kita mengeraskan suara karena agar bisa didengar, maka posisi kita selayaknya imam dalam sholat.”
“Gimana itu Kang posisi imam dalam sholat?”
“Posisi imam dalam sholat, memang disunanhkan untuk mengeraskan suara. Tapi niatnya bukan agar didengar oleh makmum, tapi niat karena melakukan sunnah. Kalau imam mengeraskan suara dengan niat agar bisa didengar makmum, batal sudah sholatnya.”
“Owh, iya, Kang. Terus hubungannya dengan suara mengaji?”
“Berarti kalau kamu mengeraskan suara agar didengar orang lain, maka ya salah. Kalau kamu mengeraskan suara dengan niat memberi tahu orang lain agar mneghormati orang mengaji, maka ya boleh saja.”
“Intinya sama dengan dawuh Kyai Sepuh yang dulu itu, bahwa dalam beribadah jangan melakukannya karena manusia atau karena makhluk. Karena itu takabur khofi, kesombongan yang samar dan halus hingga hanya orang-orang yang benar-benar teliti yang bisa melihatnya. Itu kan, Kang?”
“Iya bener, Jo. Maka itulah kita harus selalu istighfar karena ya seperti itu. Banyak sekali dosa-dosa yang kadang kita belum bisa melihatnya karena benar-benar samar.”
“Astaghfirullah,” Kang Ijo menunduk dan menghela napas. Ternyata banyak sekali hal-hal samar yang tersembunyi dalam sebuah perbuatan, entah berupa perkataan atau perlakuan kita.
“Astaghfirullah wal hamdulillaah,”
“Jadi, Kang. Ketika kita dalam keadaan seperti itu, kita baiknya gimana?”
“Ya seperti Kyai Sepuh itu. Terus saja mengaji tak peduli dengan orang lain yang sedang sibuk dengan urusannya. Mudahnya, lakum a’malukukm wa lana a’maluna. Bagimu amalmu dan bagiku amalku.”
“Owh, masya Allah. Subahanallah.”
“Kenapa, Jo?”
“Saya teringat waktu di akhir saya mengaji, saya membaca man ‘amala shoolichan falinafsihi wa man asaa a fa’alaiha.”
“Owh, subhanallah memang Allah itu Maha Mengetahui dan Maha Memberi Petunjuk.”
“Iya, Kang. Penjabaran dari lakum diinukum waliyad diin.”
“Tapi itulah, Jo. Sekarang ini banyak orang yang ‘memaksa’ orang lain untuk ikut-ikutan menjadi dirinya, memaksa orang untuk beribadah sepertinya, sholat sepertinya dan bahkan berjalan sepertinya.”
“Dan benci kalau orang lain masih beribadah seperti para ulama, kayak kasus tahlil maulid dan ziaroh itu kan, Kang?”
“Iya, Jo. Sudahlah, posisi kita saat ini bukan untuk memaksa sadar orang yang memaksa orang lain itu, kita hanya bisa berdoa dan menasehati dengan cara yang halus.”
“Iya, Kang.”
“Wallahu a’lam bish-showab.” Dan bubarlah para santri menuju kamarnya masing-masing untuk segera melakukan aktivitas harian mereka. Ada yang sekolah, ada yang bekerja. Biarlah, memang semua ada tempat dan waktunya sendiri.
Kaliwungu, 19 Januari 2016, 07.29
No comments:
Post a Comment