Saturday, 23 January 2016

Calon-Calon Koruptor

Alifa berlari sembari menangis. Beberapa orang tua yang menjemput anaknya saling bertanya-tanya. Meski begitu tak ada satupun orang tua yang menahan anak kecil berjilbab itu. Dan Alifa terus berlari dengan membawa tangisnya sampai di rumah. Ibunya yang sedang menjahit kaget melihat anak putrinya langsung memeluknya dengan isak tangis.
“Alifa, sayang. Ada apa? Pulang-pulang kok nangis?” Ibu Alifa menggendong anaknya menuju ke sofa. Dengan masih dipeluk, Ibu mengelus-elus kepala anaknya. “Cup cup, sayang. Anak ibu kok cengeng sih?”
Alifa berusah meredakan tangisnya. Perlahan melepaskan tangannya dari pelukan ibunya. Masih terisak, Alifa berkata, “Bu, apakah tidak memberi contekan teman itu salah?”
Berkerut kening ibunya. Sejenak kemudian Ibu tersenyum mengerti. “Nduk, memberi contekan itu perbuatan yang salah, dilarang agama.”
“Terus kenapa teman-teman semuanya memarahi Alifa karena tidak mau memberi contekan?”
“Karena mereka adalah anak-anak nakal yang tidak taat agama. Mereka adalah contoh anak yang tidak boleh ditiru perilakunya. Memberi contekan, entah apapun itu bentuknya dilarang oleh agama kita. Karena dengan memberi contekan berarti kita menolong untuk berbuat salah. Nah, orang yang menolong perbuatan salah sama saja dengan berbuat salah.”
“Jadi Alifa nggak salah?” reda sudah tangis Alifa.
Ibu mengangguk dengan senyumnya yang menyejukkan. “Karena Alifa pinter, makanya mereka iri. Mereka iri dengan Alifa karena bisa mengerjakan soal. Tapi mereka tidak mau belajar. Pengen yang langsung tidak mau berusaha itu tanda orang yang ....”
“Yang malas!”
“Pinter!” Ibu mencium kening anaknya. Alifa tersenyum sejenak tapi kemudian menunduk.
“Kenapa lagi sayang?”
“Kalau mereka marah sama Alifa lagi, Alifa harus bilang apa Bunda?”
“Hmm...,” Ibu terdiam sejenak. “Begini, kalau temen Alifa yang nakal itu marah sama Alifa, Alifa jawab begini saja. Salah sendiri tidak mau belajar. Nggak belajar kok minta nilai bagus?”
“He he. Terima kasih Bunda. Alifa sayang Bunda,” Alifa memeluk mesra anak putrinya. Dalam hati, Ibu prihatin dengan keadaan pendidikan di negeri ini. Jika masih pendidikan dasar saja sudah terpikir untuk membohongi diri sendiri, maka pantas sudah kalau besarnya menjadi orang yang pintar bersilat lidah. Tidak mau bekerja keras tapi pengen kaya. Maka muncullah koruptor dan anak turunnya.
“Alifa tadi kok nangis kenapa, Bun?” Irma, kakak Alifa yang baru keluar dari kamar duduk di samping ibunya setelah Alifa masuk kamar berganti baju.
“Itu lho. Kayak kamu SMP dulu.”
“Owh, dicontekin?”
“Iya, malah lebih parah. Adik kamu itu dimarahi teman-temannya karena tidak mau memberi contekan.”
“Padahal masih SD, tapi kok sudah kayak gitu ya Bun?”
“Ibu juga nggak paham dengan perilaku anak-anak jaman sekarang. Kecilnya saja kayak gitu apalagi besarnya nanti?”
“Ya, kayak orang-orang di TV itu. KORUPTOR!”
Kaliwungu, 14 Januari 2016, 17.40

No comments:

Post a Comment