Monday, 14 April 2014

Haruskah . . .?

Sore jam 04.00 aku pulang dari sekolah. Hari ini terlalu lama motivasi-motivasi dan trik jitu mengerjakan UN diberikan. Semakin dekatnya hari H, membuatku semakin bimbang tak karuan. Bukan soal lulus atau tidak. Itu nomer dua bagiku. Yang aku bimbangkan adalah soal trik dalam UN. Kalian pasti tahu apa yang ku bicarakan. Jalan belakang yang selalu muncul seiring diselenggarakannya Ujian Nasional ini.
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam. Kok baru pulang?", tanya ibuku. "Iya, Bu. Tadi baru diberi motivasi buanyak banget"
"Owh. Lha kamu sendiri yakin nggak?"
"Yakinlah, Bu! Nggak lulus kan bukan akhir dunia?", kataku sambil masuk kamar. Aku berbohong lagi. Ku merebahkan tubuhku. Pusingnya kepalaku memikirkan semua ini. Ujian, belajar, jalan belakang, kejujuran, ilmu! Arrgh! Semua berputar-putar di kepalaku. Ku pejamkan mata berharap segera tidur agar semua masalahku segera lenyap!
"Le! Bangun! Jam Lima itu lho! Kok masih tidur saja! Cepetan mandi dan shalat sana!", aku masih samar-samar saat ibuku teriak-teriak membangunkanku. Aku berjalan gontai menyambar handuk dan pergi mandi. "Aaaaahm".
"Amin", aku berdoa agar ujianku nanti lancar. Saat itu juga kebimbanganku muncul kembali. Antara sadar dan tidak, aku menuju meja makan. Pikiranku masih melayang. Memikirkan bagaiman ujian itu nanti ku lewati. Apa aku harus menjadi penolong ataukah penyendiri yang pasti dibenci orang lain.
"Soal UN mulai didistribusikan ke seluruh Nusantara hari ini. Rencananya . . .", siaran TV mengabarkan perkembangan pelaksanaan UN yang sudah tak lama lagi. "Kamu gimana persiapannya?", tanya ayahku. Aku masih linglung. "Le?"
"He? Eh, ya sudah siap, Pak. Tadi siang sudah diberi motivasi banyak banget. Pokoknya harus yakin UN lulus semuanya"
"Tapi apa ya pasti semua temen-temen kamu itu bisa semua? Soal UN kan bukan soal biasa?", gantian ibuku yang bertanya.
"Sebenernya, kata motivator tadi siang, soal UN itu justru lebih mudah lho, Bu. Daripada soal TO yang begh! Bikin pusing setengah mati!"
"Emm! Pantesan kamu dapat nilai jelek. Berapa kemarin?", ayahku menoleh padaku. Aku menjawab sambil menunduk,"14,00".
"Lha temen-temen kamu rata-rata juga segitu?"
"Iya, Bu! Kata Pak Guru, soal TO memang sengaja dibuat sulit. Biar kami nggak kaget mengerjakan soal UN nanti"
"Lha anaknya Pak Darmawan berapa nilainya?"
"Bagus dia, Pak. Dia peringkat kedua. Nggak tahu nilainya berapa! Soalnya dia memang pintar"
Ting Ting Ting! HPku berbunyi. SMS dari Riki. Dia pengen ngajak keluar. Langsung saja ku iyakan.
"Pak, nanti habis maghrib aku mau keluar sama Riki"
"Kemana? Belajar bersama?"
"Enggak, Pak. Cuman jalan-jalan saja. He he"
"Lho kenapa nggak belajar? UN kan makin dekat?"
"Enggaklah, Pak. Pengen istirahat sejenak. Capek, Pak, belajar terus. Lama-lama bisa error, Pak!", kataku sambil cengengesan.
"Ya sudah. Tapi jangan pulang terlalu malam"
"Ya, Pak. Terima kasih".
Adzan maghrib mulai berkumandang. Ayah langsung ke pancuran samping rumah. Mengambil air wudhu untuk kemudian pergi ke musholla. Sedangkan aku sholat berjma'ah bersama kakak dan ibuku di rumah. Rutinitas yang dibiasakan ayahku sejak kecil.
"Assalamu'alaikum!", suara Riki di depan rumah. "Wa'alaikumussalam!". Aku yang memang sedang menunggunya langsung membuka pintu. "Bu, aku keluar dulu. Assalamu'alaikum!"
Ku ambil sepeda di samping rumahku dan bergegas dengan Riki ke lapangan. Malam-malam ke lapangan? Bukan. Kami biasa nongkrong di angkring dekat lapangan. Apalagi di depannya ada warung kecil. Jadi pas banget. Sambil ngemil, kita biasanya ngobrol. Banyak hal yang kita bahas. Biasanya kita bertiga, aku, Riki dan Kamal. Tapi kata Riki, "Kamal lagi belajar kelompok sama Budi, Arman dan Dwi"
"Lagi . . . Itu ya?"
"Ya, gitu deh! Mereka kan peringkat teratas di kelas kita. Pastinya mereka yang dijadikan tim sukses buat UN nanti"
"Hemph", aku menghela napas. Sesak rasanya dada ini jika kembali memikirkan kebimbangan dan 'jalan belakang' itu lagi. "Sebenernya, apa sih fungsi UN itu jika kita harus melakukan drama seperti ini?", kata Riki pelan. Dia memandang langit malam sambil menghela napasnya. Sepertinya dia merasakan apa yang ku rasakan.
"Entahlah, Rik. Semua ini selalu memusingkanku sejak beberapa hari kemarin. Terutama saat pembagian jatah per ruang saat itu"
"Apakah kita bener-bener ujian ya? Kok kayaknya semua hanya sandiwara?"
"Memang. Sandiwara yang paling rapi. Sandiwara dengan jumlah pemeran terbanyak. Sandiwara terbesar abad ini. He he", kataku sinis. Aku sebenarnya menyayangkan semua ini. Tapi aku sendiri bakal jadi salah satu pemerannya beberapa hari lagi.
"Terus, haruskah kita ikut sandiwara ini, Di?", Riki menatapku.
Aku menunduk. Jauh dalam hatiku aku mengutuk ujian ini. Bener-bener mengutuk! Hanya karena ujian semacam ini, kami pelajar harus menghianati ilmu yang kami pelajari. Hanya gara-gara ujian semacam ini, kami harus tertekan sepanjang waktu. Terombang-ambing dalam perasaan yang tak menentu. Antara yakin dengan kemampuan atau mencari 'alternatif' lain. Ujian gila! Bahkan harus ada satu keluarga yang menanggung malu karena anaknya bunuh diri karena tidak lulus. Bener-bener . . .! Argh!
"Kalo menurutmu?"
Ganti dia yang menghela napasnya. "Sebenernya semua sudah jelas, Di. Ini hanya ujian kelulusan. Sama seperti ujian semester dua. Hanya saja skalanya lebih besar dan rasa malunya lebih besar. Kita akan malu kalau tidak bisa naik kelas, tapi lebih malu lagi kalau tidak lulus". Sejenak dia diam. "Memang, sepandai apapun seseorang pasti akan terlihat kebodohannya suatu saat. Aku ragu, jika orang-orang yang jadi pengusaha, pejabat dan sebagainya adalah lulusan terbaik dari SMAnya. Bahkan lulusan SD pun bisa menjalani hidup dengan sukses. Lalu kenapa kita harus menggantungkan semua kesuksesan kita di ujian ini? Kenapa?"
"Pertanyaanya bukan kenapa, Rik. Tapi haruskah. Haruskah kita menggantungkan semua angan dan cita-cita kita di ujian ini?"
"Tidak!"
"Hei!", kami kaget. Kamal tiba-tiba muncul di belakang angkring. "Loh? Kamu nggak jadi . . .", tanya Riki.
"Ya tadi aku cuma bentar di sana! Aku harus pergi dari sana, kawan!", dia duduk di sampingku. "Aku harus mengambil keputusan yang paling sulit. Aku harus berani jujur. Berani menghadapi semua ini dengan keyakinan pada kemampuanku sendiri. Jika bukan kita yang jujur, lalu siapa lagi?"
"Tapi kamu tahu kan akibatnya?!", Riki sedikit menekan perkataannya. Kamal mengangguk.
"Semua sudah ku pikirkan baik-baik. Dan akhrinya aku harus menjadi pemeran antagonis dalam sandiwara nanti"
"Gila kamu, Mal! Kamu tahu kan, kalo kamu keluar dari tim sukses, maka semakin banyak temen kita yang akan ragu, bahkan mungkin lebih tertekan. Karena kamu yang jadi peringkat teratas malah nggak membantu mereka! Dan . . ."
"Wow! Wow! Easy, Bro! Justru tadi waktu di sana, aku sudah mengutarakan tentang penolakanku 'membantu' mereka", katanya tenang. "Dan mereka?", aku penasaran. Setidaknya dia pasti sudah dimusuhi Budi, Arman dan Dwi.
"Yah, seperti yang bisa kau bayangkan. Wajah mereka langsung mengeras. Dan saat itu pula mereka langsung menceramahiku dengan ditambahi sumpah serapah! Fiuh! Pokoknya seru!"
"Dan kamu, pergi begitu saja?"
"Nggaklah, Rik. Nggak sopan itu namanya. Ya, aku cuma menjelaskan alasanku. Dan, mau tak mau mereka harus menerima"
"Ada yang ngancam kamu nggak?", tanyaku penuh selidik. Pasti ada.
"Ada sih. Katanya aku bakal dilaporin ke dewan guru gitu. Tapi ya terserahlah. Ini ujian, bukan sandiwara"
"Kamu . .  Ah, gila kamu, ya?", kata Riki tak percaya. "Tapi kamu nggak bilang sama orang tua kamu kan?"
"Mereka sudah menduga semua ini. Tentang tim sukses dan sebagainya. Malah mereka yang pertama kali bertanya. Dan aku harus menjawab apa adanya"
"Jadi karena ortumu akhirnya kamu mengambil keputusan ini?"
"Iya, Di. Ortuku bilang, ujian sesungguhnya bukan apa yang dihasilkan, tapi prosesnya. Bukan tentang lulusnya, tapi soal bagaiman kamu lulus".
"Hemph! Kamu bener-bener berani, Mal. Aku mungkin . . ."
"Hei!", Kamal menatapku tajam. "Kamu nggak akan ikut, 'itu' kan?"
Aku menunduk. "Rik?", dia berganti menatap Riki. "Jujur aku masih ragu dengan kemampuanku, Mal. Kamu juga kan tahu berapa nilaiku dan nilai Ardi kemarin. Meskipun soalnya memang dipersulit, tapi kemampuan kami jauh darimu, Mal. Jadi mungkin . . .", Riki tidak meneruskan perkataannya. "Gila! Bener-bener gila!", kata Kamal sedikit berteriak. "Kenapa sih?! Kenapa semua temen-temenku harus jadi pesimis begini?! Ayolah, kawan! Ini, ini tentang bagaimana kalian mengamalkan apa yang sudah diajarkan. Argh! Kawan! Ingat apa yang Pak Hardi katakan kemaren! Ingatkan, Di? Rik?"
Kami mengangguk. "Tapi, Mal. Ini nggak semudah apa yang . . . Ah!", kata Riki. Dia benar-benar sudah putus asa. "Tadinya aku dan Riki sudah membahas ini. Dan, . . .", kataku.
"Dan?"
"Kami belum tahu. Kami masih bimbang. Benar apa yang kau katakan. Ini tentang jujur. Tentang apa yang Pak Hardi katakan. Tapi apa kau mengerti posisi kami? Kami hanya punya kemampuan pas-pasan. Kami mungkin hanya bisa mengerjakan soal nggak lebih dari 30%!"
"Aku memang nggak tahu bagaimana rasanya berada di posisimu, Rik. Tapi, apakah kamu harus membohongi orang tuamu? Gurumu? Hah?! Di?", Kamal menoleh ke arahku. Aku menghela napas. "Ini bener-bener berat, Mal. Karena itulah tadi Riki bilang kamu itu gila. Kalau kamu bakal mendapatkan musuh yang lebih banyak, bahkan mungkin ijazahmu akan dipersulit karena keputusanmu itu, tapi setidaknya kamu sudah selangkah lebih dari kami. Kamu sudah lebih siap dari kami. Sedang kami? Kami kemungkina harus ikut paket agar mendapatkan ijazah", aku menatap sendu langit malam.
"Terus kenapa? Kenapa memangnya kalo paket? Malu? Malu dikatakan nggak lulus?"
Aku menunduk lagi. Ku lihat Riki juga. Meskipun lulus adalah nomer dua, tapi aku masih belum siap untuk dikatakan tidak lulus Ujian Nasional. Memang benar aku mengutuknya. Aku mengutuknya karena ini. Karena cara berpikir kebanyakan orang yang menganggap tidak lulus UN adalah aib. Bukan hanya aib satu orang, tapi aib satu keluarga.
"Oke! Apa kalian punya cita-cita?", Kamal mencoba mengalihkan pembicaraan kayaknya. Kami mengangguk. "Mau kalian meraih cita dengan beralaskan jurang hitam? Maukah kalian menjadi pengusaha hebat dengan catatan hitam yang pasti akan kalian ingat sampai tua nanti?", katanya bersemangat.
"Tapi hanya sekali ini kan, Mal?", jawab Riki. "Bagi kalian mungkin hanya sekali ini. Bagi yang lain?". Riki diam. Kamal diam. Begitu juga aku.
"Mungkin inilah awal dari kematian kejujuran. Dari ranah pendidikan pun, ketidakjujuran sudah ditanamkan, apalagi di lingkup lainnya", suaraku memecah kesunyian.
"Dan, pasti banyak sekali orang yang mulai tidak menghargai kejujuran. Yang penting mereka selamat dan mendapatkan apa yang diinginkannya", sambung Riki.
"Hemph!", Kamal menghela napas. "Aku mungkin nggak tahu bagaimana berada di posisi seperti kalian. Alhamdulillah, aku diberi kemudahan dalam pemahaman. Aku tidak tahu jika aku harus mengerjakan sesuatu yang aku sendiri tidak begitu paham. Mungkin aku akan seperti kalian. Tapi, Kawan! Percayalah! Aku tidak ingin kalian putus asa. Bukan aku saja. Orang tua kalian pun tentu tidak ingin kalian putus asa. Aku yakin, mereka ingin kalian sukses dengan cara kalian sendiri. Bukan dengan cara 'alternatif' itu"
"Ya, kalau ortuku dan ortunya Ardi sih, aku yakin begitu. Lha ortu temen kita lainnya? Aku nggak begitu yakin", kata Riki.
"Tapi itu semua kembali kepada kalian masing-masing. Ortu kita hanya bisa mendukung karena kitalah yang menjalani. Pokoknya . . .", Kamal memegang pundak kami. "Kalian harus jujur pada diri sendiri dengan cara yakin dengan kemampuan kalian sendiri! Aku mungkin hanya bisa memberi saran. Tapi yakinlah, setiap perbuatan baik ada balasannya. Begitu pun perbuatan buruk. Kalaupun kalian nanti tidak lulus, aku akan menenmani kalian sampai kalian sendiri bosan ditemani olehku. He he", katanya mantap.
"Yup! Makasih, Mal! Mungkin ini yang kami butuhkan. Semangat dari kawan sendiri". Riki ganti memegang pundak Kamal. "Kita pasti berusaha semaksimal mungkin. Hasilnya, terserah! Yang kita lakukanlah yang penting! Ya kan, Di?"
"Ya!", aku mengangguk mantap. "Terima kasih banyak, Mal! Aku akan berusaha menjadi baik dengan cara yang baik!"
"Kita,", Kamal menatap aku dan Riki bergantian. "Adalah kawan. Yang saling tolong menolong dalam kebaikan, bukan kejelekan"
"Dan kita adalah pelajar yang belajar mengamalkan apa yang kita pelajari", sambung Riki.
"Dan kita adalah orang bodoh yang berusaha pintar dengan cara yang baik", sambungku.
"Kita? Loe kale! Gue enggak tuh!", sahut Riki yang disambut tawa kami semua. UN bukanlah tempat menggantungkan cita-cita dan impianku. Tapi adalah ujian yang sebenarnya sebagai pijakanku menggapai cita-cita dan impianku. Dengan cara yang baik tentunya.

No comments:

Post a Comment