Assalau'alaikum, Sahabat!
Lama tak bersua denganmu, bongkahan rindu dalam hatiku kini telah menumpuk menjadi gunung. Apakah kau masih ingat denganku? Iya, aku. Mungkin kau lupa. Aku temanmu yang selalu menganggapmu Sahabat. Aku mungkin hanya sekedar bayangan di dalam kelas. Mungkin hanya seberkas sinar lain di siang hari. Tak berbekas. Tapi aku melihatmu tadi sore. Aku bahagia saat itu. Bisa melihatmu tumbuh dewasa bergandengan dengan seseorang. Mungkin itu pacarmu.
Bicara soal pacar, sampai sekarang aku masih belum punya. Bukannya tidak mau pacaran, hanya saja aku belum menemukan seseorang yang sesuai. Oh ya, apa arti pacar buatmu? Apakah seseorang yang kau cintai atau seseorang yang sangat kau cintai hingga akan kau pertahankan sampai menikah, sampai beruban dan mati? Ah, entahlah! Beginilah isi pikiran orang jomblo yang tak segera mendapatkan jodoh, eh pacar. Tapi aku pernah dengar bahwa cinta bukan seperti angkot yang ngetem di pinggir jalan menunggu penumpang. Lalu berjalan beberapa kilo si penumpang turun dan ngetem lagi menunggu penumpang lain. Hemph! Begitulah katanya.
Sahabat! Masihkah kita akan bertemu lagi suatu saat nanti? Aku ingin berbincang banyak hal denganmu. Bukannya aku tidak punya teman di sini, hanya saja mereka bukanlah kau. Bukan kau yang selalu setia mendengarkan semua resah gelisahku, bukan kau yang selalu menyemangatiku dan bukan kau yang selalu menantiku di depan gerbang kesuksesan. Temanku di sini banyak, tapi mereka lebih layak disebut bayangan. Yah, seperti aku di kelas dulu. Mereka, temanku di sini, adalah orang-orang kuper! Kau tahu maksudku dengan kata 'kuper' itu? Kuper dalam pengertianku adalah orang-orang yang tak pernah mendengar saat diceramahi, tak pernah melihat saat ditunjukkan. Hingga kadang aku berpikir untuk segera mencari suasana baru. Tapi kuliahku harus menunggu satu tahun lagi.
Soal kuliah, bagaimana dengan cita-citamu untuk menjadi dokter? Apakah sudah tercapai? Aku harap sudah. Karena kemarin saat aku melihatmu, kau sudah berpakaian layaknya orang berada. Sepatumu mengkilat dan pakaianmu begitu rapi. Aku bahagia bila kau sudah menggapai cita-citamu yang selalu kau ceritakan padaku waktu dulu. Ingatkah kau saat kita berdua naik pohon mangga dan bercerita banyak hal termasuk cita-cita kita? Ah! Pasti kau ingat! Karena ada Pak Mudi yang kemudian meneriaki kita maling mangga! Ha ha ha. Aku masih ingat betul kemana kita berdua berlari. Ke kandang ayam Pak Juki! Bukan main rusuhnya kandang ayam itu! Ha ha ha!
Sahabat! Aku sampai sekarang masih belum bisa menemukan apa cita-citaku. Seperti apa yang ku katakan padamu di atas pohon mangga kala itu, aku masih ragu tentang tujuan hidupku. Aku lebih senang menjalani hidupku apa adanya, mengalir seperti air. Aku masih ingat kata-katamu saat itu, 'Manusia di dunia hanyalah musafir. Jika musafir tak punya arah tujuan, maka kemana dia harus melangkah?"
Sahabat! Malam ini aku baru saja menunggui ibuku di rumah sakit. Seperti yang kau tahu, rumah sakit terlalu berbelit-belit untuk menerima orang-orang seperti kami. Uang, uang dan uang! Hanya itu! Hanya itu yang mereka pikirkan dan yang kami butuhkan. Kenapa?! Kenapa kami orang-orang bawah harus diinjak dengan kertas?! Seberapa kuatkah kertas bisa menyerap tekanan injakan dari kalian kalangan elite?!
Bosan aku sebenarnya membahas masalah ini. Masalah yang aku yakin takkan pernah berubah meski sampai kapanpun. Hingga terngian sebuah kata-kata di telingaku, andai tak pernah ada uang di dunia, mungkin dunia akan lebih damai!
Sahabat! Sekian suratku untukmu. Entah nanti kau baca sampai habis atau tidak, karena kau mungkin sulit untuk mengingat siapa aku, tapi aku sudah senang saat kau menerima ini. Setidaknya aku bisa menyampaikan sebaris ceritaku padamu.
Sahabat! Sampai berjumpa lagi. Aku akan menantimu selalu, di tempat kita biasa bercerita. Setelah kejadian di pohon mangga itu, he he.
Wassalamu'alaikum
Monday, 19 May 2014
Hai Sahabat
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment