Monday 17 August 2015

Musibah Itu ...


Pagi itu Kang Ijo sedang duduk termenung. Terlihat wajahnya sayu memikirkan sesuatu. Kang Item jadi nggak tega melihat sahabatnya itu duduk sendirian sambil menghadap ke jalanan.
“Assalamualaikum” sapa Kang Item.
“Waalaikumussalam, Kang” jawab Kang Ijo sambil menjabat tangan Kang Item. “Kopi, Kang”, Kang Ijo menawarkan.
“Ya. Kamu kok kelihatannya sedih, Jo”
“Ah, ini lho, Kang. Saya lagi mikir”
“Lha iya, manusia itu mesti mikir, kalau nggak kan nggak ada bedanya dengan hewan? Ya nggak?”
“He he, iya, Kang”
“Lha terus kamu lagi mikir apa?”
“Ini, Kang. Sebenarnya apa sih tugas kita di dunia ini, Kang?”
“Lho? Bukannya di Al Qur’an sudah ada?”
“Yang mana?”
“Hemmm, makanya baca al Qur’an, Jo. Di Al Qur’an sudah disebutkan kalau kita diciptakan ...”
“Kalau yang itu aku juga tahu, Kang” potong Kang Ijo.
“Jo, memotong perkataan seseorang tanpa permisi itu nggak sopan. Apalagi posisi kamu sebagai penanya. Tahu?”
“Iya, Kang. Maaf”
“Ya, nggak apa-apa. Jadi kamu sudah tahu kalau penciptaan kita hanya untuk beribadah? Nah, terus apa yang kamu pikirin sampe kopinya dingin begini?” tanya Kang Item sambil menyeruput kopi.
“ Begini, Kang. Kok saya nggak pernah bisa merasakan kalau tugas saya itu beribadah? Saya nggak bisa merasa kalau saya ini diberi tanggung jawab sebagai ‘abid?”
“Atau lebih tepatnya, kamu nggak bisa merasakan kalau ibadah itu adalah tugas kamu?”
“Cocok!”
“Begini, Jo. Misalnya kalau kamu disuruh Kyai untuk membuat kopi. Apa yang bakal kamu lakukan?”
“Ya saya segera membuat kopi tho, Kang?”
“Nah, kira-kira apa bedanya sama tugas kita sebagai makhluk yang disuruh Sang Khalik untuk beribadah?”
“Eee, ...” Kang Ijo menunduk. Dia sedang berpikir lebih dalam.
“Mungkin karena yang menyuruh itu Kyai saya?”
“Yang lainnya?”
“Eee, ... Karena saya mengakui kalau beliau adalah Kyai yang harus saya hormati?”
“Nah, bagaimana kamu kok bisa sampai mengakui beliau sebagai seseorang yang kamu hormati?”
“Ya karena saya memang berniat mengabdi kepada beliau?”
“Atau lebih pasnya karena kamu sudah mengenal beliau. Ya, kan?”
Kang Ijo mengangguk mengiyakan.
“Coba kita ambil contoh lain lagi. Di tengah jalan kamu bertemu seseorang. Tiba-tiba kamu disuruh untuk membuatkannya kopi. Kamu mau nggak?”
“Ya enggaklah! Lha wong nggak kenal kok? Enak aja main suruh-suruh?! Emangnya saya siapanya dia?”
“ Nah itu,  Jo!”
“Itu apanya?”
“Karena kamu nggak kenal. Gimana kamu mau melaksanakan tugas dari seseorang yang kamu sendiri nggak kenal? Bagaimana kamau mau melaksankan ibadah sedangkan kepada Yang Memerintah saja kamu nggak kenal?”
Kang Ijo tertunduk lesu. Kata-kata itu begitu merasuk. Begitu dalam terasa dalam hatinya.
“Lalu aku harus bagaimana, Kang?”
“Kamu harus belajar mengenal dia sambil terus melaksanakan tugasnya meski kamu belum belum kenal”
“Caranya bagaimana?”
“Menurutmu bagaimana cara kita berkenalan dengan Dzat yang tak sama dengan makhluk-Nya?”
“Selalu menyebut asma-Nya?”
“Betul. Itulah mengapa kita harus lama-lama wiridan sehabis sholat maupun di luar sholat”
“Biar semakin kenal?”
“Benar, Jo. Maka itulah salah satu arti dari man arafa nafsahu arafa robbahu, siapa yang kenal dirinya maka kenal Tuhannya”
“Mantep, Kang. Terima kasih. Monggo kopinya disruput lagi”
“Halah, sudah dingin, Jo”
“Lah? Perasaan baru saya buat tadi kok, Kang?”
“Halah, mboh!”
Tulungagung, 06.53, 07 April 2015

No comments:

Post a Comment