Monday 17 August 2015

Tata Krama dalam Jabatan


Kang Ijo sedang duduk manis menghadap kiblat. Meski dari luar terlihat menghadap ke arah jalan raya, tapi pikirannya melayang kesana kemari.
“Assalamualaikum” Kang Ijo menoleh.
“Waalaikumussalam, eh Kang. Monggo duduk di sini. Maaf Kang nggak ada kopi”
“Nggak apa-apa, Jo. Kopi itu Cuma sebagai pemanis. Berarti nggak harus ada”
“He he, iya, Kang”
“Besok untuk acara lomba gimana, Jo?”
Kang Ijo mesem kecut. Hatinya sedang dongkol gara-gara kemarin disuruh-suruh sama ketuanya. Kang Ijo masuk sebagai panitia lomba agustusan. Dan entah karena apa, ketua lomba tahun ini adalah anak muda. Mungkin bisa dibilang KKN, karena Murdi, si ketua lomba , adalah keponakan Pak Lurah. Kang Ijo sebenrarnya tidak mempermasalahkan siapa yang jadi ketua. Nggak harus orang tua. Tapi kalau bisa menjadi pemimpin yang bijaksana, baginya dipimpin anak muda juga boleh saja. Tapi kalau cara memimpinnya seperti Murdi, Kang Ijo bisa sakit hati.
“Jo!” Kang Ijo tersentak.
“Iya, Kang. Justru itu masalahnya, Kang. Saya jadi koordinator lapangan buat lomba besok. Tapi ketua saya itu lho!” Kang Ijo agak menekan kata-katanya.
“Kenapa, Jo? Kamu merasa terhina dengan posisi kamu?”
“Terhina bagaimana?”
“Ya, biasanya senior kan pasti canggung kalo dijadikan bawahan dari yuniornya?”
“Kalo itu sih saya nggak masalah, Kang. Bagi saya, nggak masalah siapa yang di atas, siapa yang di bwah, pokoknya bisa saling memahami posisi masing-masing dan tetap menjaga tata krama”
“Lha terus apa masalahmu, Jo?”
“Begini, Kang. Yang menjadi masalah saya adalah menjaga tata krama antara senior dan yunior”
“Owh, ya gimana ya, Kang”
“Saya mungkin masih bisa menerima perlakuan Murdi yang kurang sopan. Tapi lha wong yang lain juga pada komplain, Kang. Dan saya yang jadi sasaran untuk memepringatkan Murdi. Tapi saya bingung bagaimana bahasanya untk bisa membuat Murdi sadar”
“Nah itu, menurut saya ya Kang. Jangan berharap apa yang kamu katakan itulah yang akan membuat Murdi sadar”
“Astaghfirullah” Kang Ijo segera bersyahadat sejenak setelahnya. “Iya, Kang. Saya khilaf. Terus bagaimana, Kang?”
“Yang kedua, kamu cari tahu siapa orang yang dekat dengan Murdi dan omongannya selalu dihormati oleh Murdi”
“Jadi bukan saya yang ngomong?”
“Ya tetep kamu yang ngomong, tapi kamu harus membawa seseorang yang dihormati Murdi biar dia sedikit-sedikit menerima”
“Owh, oke Kang. Terus?”
“Kamu kirim dia hadiah fatihah yang banyak, insyallah akan dibuka jalannya”
“Hmm... iya, Kang. Memang selain usaha, doa juga penting”
“Iya, Jo. Usaha harus diabrengi dengan doa. Usaha tanpa doa bisa jadi kufur, doa tanpa usaha namanya tamak”
“Iya, Kang”
Sejenak percakapan mereka berhenti. Lalu lalang kendaran semakin ramai. Panas mentari mulai terasa. Kang Ijo menyulut rokoknya. Jam delapan nanti, dia harus ke balai desa rapat bersama warga yang juga jadi panitia untuk persiapan lomba besok.
“Memang susah, Jo”
“Apanya, Kang?”
“Menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat. Di tengah-tengah itu artinya harus bisa menyeimbangkan, sedang masyarakat itu pasti berbeda”
Kang Ijo mengangguk pelan sembari mengebulkan asap rokok pelan. Wajhanya yang tadi masam perlahan cerah. Mungkin maslahnya telah pergi seiring kepulan asap rokok yang dihembus angin pagi.
“Yang penting kita harus tetap menjadi diri sendiri di tengah gelombang yang menarik kita untuk menjadi orang lain, ya kan Kang?”
“Iya, Jo. Menjadi diri sendiri. Jangan sampai lupa siapa diri kita. Man arafa nafsahu, arafa robbahu. Siapa yang tahu dan menjaga pengetahuan serta mengamalkan pengetahuannya akan diri pribadi maka akan diberi tahu Sang Robb, diberi jalan yang lurus, diberi kemudahan dari Sang Pemurah, diberi kelapangan dari Sang Pengasih”
“Mantap, Kang. Ya sudah, Kang. Saya mau ke balai desa dulu. Assalamualaikum”
Tulungagung, 16 Agustus 2015, 07.58

1 comment: