Monday 17 August 2015

Berbagi Itu Komunikasi

Saya sedang melihat video klip dari Maroon 5 yang judulnya Sugar. Pasti banyak dari kawan-kawan yang tahu band ini dan video klipnya itu.
Saya melihat dari sini, bahwa sebenernya banyak cara dari kita untuk berbagi bahagia dengan orang lain. Banyak cara dari kita untuk bisa menghibur orang lain. Bahkan orang yang tak kita kenal sekali pun. Tapi apesnya karena kita adalah manusia yang memang diciptakan untuk lupa dan salah. Untuk tidak sempurna. Bukan berarti hal ini menjadi alsan bagi kita untuk membuat orang-orang yang kita temui, baik kenal atau tidak, menjadi diacuhkan bahkan marah, kesal atau hal negatif lainnya. Jika kita bisa membuat seseorang tersenyum dengan perlakuan kita kepadanya, kenapakah kita tidak mau melakukannya?
Kenapa kita tidak mau bertegur sapa dengan seseorang yang kita temui sewaktu kita duduk di bangku taman? Kenapa kita tidak mau berkenalan dengan seseorang yang kita temui di bis kota, di kereta apai dan lainnya? Sekalipun mungkin hanya sekali itu kita bertemu, toh tidak ada ruginya? Dan itulah yang saya kira membuat Indonesia dan bangsa Asia disebut sebagai bangsa yang ramah.
Mungkin dari kalian ada yang pernah melihat di televisi, di youtube atau hanya sekedar membaca artikel di internet tentang beberapa orang yang berakting untuk melihat bagaimana reaksi orang di sekitarnya. Ada yang dengan sengaja menjatuhkan dompetnya, sengaja meninggalkan barang berharganya untuk melihat reaksi orang-orang yang tak dikenalnya di sekelilingnya. Kenapa ada video seperti itu? Karena kita, percaya atau tidak, mulai kehilangan kepercayaan dengan orang-orang di sekitar kita. Dan penyebabnya adalah kita kehilangan komunikasi kita sendiri. Kita mulai hidup dalam dunia kita sendiri-sendiri. Mulai sibuk dengan orang-orang yang kita kenal saja, padahal merekalah yang selalu membuat kita jengkel, marah dan sebagainya. Kita tidak mau menyapa orang-orang yang tak kita kenal. Padahal nggak jarang semua masalah kita bisa terpecahkan berkat mereka, orang-orang yang tak kita kenal.
Saya tidak menyalahkan adanya teknologi semacam smartphone, webcam, dan lainnya. Semua itu positif jika kita bisa menempatkan sesuai porsinya. Jujurlah pada diri Anda sendiri. Ketika Anda rapat dan sedang menunggu yang lain yang belum hadir, apa yang Anda lakukan? Lebih banyak fokus ke smartphone Anda kan? He he. Saya pun begitu.
Oke mari kita urutkan. Pertama, kita bisa berbagi kebahagiaan dengan semua orang, sekalipun kita tidak kenal. Kedua, kita mulai kehilangan komunikasi dengan orang-orang di sekeliling kita dengan alasan masih sibuk dengan orang yang kita kenal. Ketiga, penempatan kecanggihan teknologi yang salah memperburuk komunikasi kita.
Dan apa yang dapat Anda simpulkan?
“Dunia ini adalah cermin. Apa yang kau lihat dari seseorang, maka itulah yang dilihat orang lain padamu. Apa yang kamu lakukan pada orang lain, maka itulah perlakuan orang kepadamu”
Tulungagung, 16 Agustus 2015, 08.22

Tata Krama dalam Jabatan


Kang Ijo sedang duduk manis menghadap kiblat. Meski dari luar terlihat menghadap ke arah jalan raya, tapi pikirannya melayang kesana kemari.
“Assalamualaikum” Kang Ijo menoleh.
“Waalaikumussalam, eh Kang. Monggo duduk di sini. Maaf Kang nggak ada kopi”
“Nggak apa-apa, Jo. Kopi itu Cuma sebagai pemanis. Berarti nggak harus ada”
“He he, iya, Kang”
“Besok untuk acara lomba gimana, Jo?”
Kang Ijo mesem kecut. Hatinya sedang dongkol gara-gara kemarin disuruh-suruh sama ketuanya. Kang Ijo masuk sebagai panitia lomba agustusan. Dan entah karena apa, ketua lomba tahun ini adalah anak muda. Mungkin bisa dibilang KKN, karena Murdi, si ketua lomba , adalah keponakan Pak Lurah. Kang Ijo sebenrarnya tidak mempermasalahkan siapa yang jadi ketua. Nggak harus orang tua. Tapi kalau bisa menjadi pemimpin yang bijaksana, baginya dipimpin anak muda juga boleh saja. Tapi kalau cara memimpinnya seperti Murdi, Kang Ijo bisa sakit hati.
“Jo!” Kang Ijo tersentak.
“Iya, Kang. Justru itu masalahnya, Kang. Saya jadi koordinator lapangan buat lomba besok. Tapi ketua saya itu lho!” Kang Ijo agak menekan kata-katanya.
“Kenapa, Jo? Kamu merasa terhina dengan posisi kamu?”
“Terhina bagaimana?”
“Ya, biasanya senior kan pasti canggung kalo dijadikan bawahan dari yuniornya?”
“Kalo itu sih saya nggak masalah, Kang. Bagi saya, nggak masalah siapa yang di atas, siapa yang di bwah, pokoknya bisa saling memahami posisi masing-masing dan tetap menjaga tata krama”
“Lha terus apa masalahmu, Jo?”
“Begini, Kang. Yang menjadi masalah saya adalah menjaga tata krama antara senior dan yunior”
“Owh, ya gimana ya, Kang”
“Saya mungkin masih bisa menerima perlakuan Murdi yang kurang sopan. Tapi lha wong yang lain juga pada komplain, Kang. Dan saya yang jadi sasaran untuk memepringatkan Murdi. Tapi saya bingung bagaimana bahasanya untk bisa membuat Murdi sadar”
“Nah itu, menurut saya ya Kang. Jangan berharap apa yang kamu katakan itulah yang akan membuat Murdi sadar”
“Astaghfirullah” Kang Ijo segera bersyahadat sejenak setelahnya. “Iya, Kang. Saya khilaf. Terus bagaimana, Kang?”
“Yang kedua, kamu cari tahu siapa orang yang dekat dengan Murdi dan omongannya selalu dihormati oleh Murdi”
“Jadi bukan saya yang ngomong?”
“Ya tetep kamu yang ngomong, tapi kamu harus membawa seseorang yang dihormati Murdi biar dia sedikit-sedikit menerima”
“Owh, oke Kang. Terus?”
“Kamu kirim dia hadiah fatihah yang banyak, insyallah akan dibuka jalannya”
“Hmm... iya, Kang. Memang selain usaha, doa juga penting”
“Iya, Jo. Usaha harus diabrengi dengan doa. Usaha tanpa doa bisa jadi kufur, doa tanpa usaha namanya tamak”
“Iya, Kang”
Sejenak percakapan mereka berhenti. Lalu lalang kendaran semakin ramai. Panas mentari mulai terasa. Kang Ijo menyulut rokoknya. Jam delapan nanti, dia harus ke balai desa rapat bersama warga yang juga jadi panitia untuk persiapan lomba besok.
“Memang susah, Jo”
“Apanya, Kang?”
“Menempatkan diri di tengah-tengah masyarakat. Di tengah-tengah itu artinya harus bisa menyeimbangkan, sedang masyarakat itu pasti berbeda”
Kang Ijo mengangguk pelan sembari mengebulkan asap rokok pelan. Wajhanya yang tadi masam perlahan cerah. Mungkin maslahnya telah pergi seiring kepulan asap rokok yang dihembus angin pagi.
“Yang penting kita harus tetap menjadi diri sendiri di tengah gelombang yang menarik kita untuk menjadi orang lain, ya kan Kang?”
“Iya, Jo. Menjadi diri sendiri. Jangan sampai lupa siapa diri kita. Man arafa nafsahu, arafa robbahu. Siapa yang tahu dan menjaga pengetahuan serta mengamalkan pengetahuannya akan diri pribadi maka akan diberi tahu Sang Robb, diberi jalan yang lurus, diberi kemudahan dari Sang Pemurah, diberi kelapangan dari Sang Pengasih”
“Mantap, Kang. Ya sudah, Kang. Saya mau ke balai desa dulu. Assalamualaikum”
Tulungagung, 16 Agustus 2015, 07.58

KKN


Saya sedang KKN saat ini. Di Desa Tanggul Welahan Kecamatan Besuki Kabupaten Tulungagung. Kurang lebih selama satu bulan saya harus berada disini untuk mengabdikan diri. Tidak jauh berbeda dengan eL-Dsan, hanya saja visi dan misi yang berbeda. KKN lebih terasa formal, memasuki lembaga-lembaga pendidikan formal khususnya.
KKN STKIP PGRI Tulungagung, tempat saya kuliah diberi tema KKN Posdaya yang merupakan program dari sebuah yayasan bernama Damandiri. KKN Posdaya ini sebetulnya adalah reka ulang dari LKMD yang dulu sempat ada di jaman pemerintahan Bapak Soeharto. LKMD yang dulu merupakan cikal bakal berdirinya berbagai macam unit lembaga berbasis kemasyarakatan seperti Posyandu, Karang Taruna dan lainnya, dihapus karena alasan politis. Dan saya kurang paham dan tak mau tahu soal itu.
Dan sekarang melalui tangan para mahasiswa semester lima yaitu saya dan ratusan mahasiswa lainnya, LKMD akan dibangun kembali dengan format yang sedikit berbeda. Posdaya mengedepankan misi untuk menyatukan semua lembaga yang dulu bersatu dalam satu wadah lama yaitu LKMD menjadi satu dalam Posdaya dengan dukungan penuh dari Yayasan Damandiri. Hanya itu yang saya tahu, ada kurang lebihnya saya mohon maaf wass...
He he. Nggak, saya nggak akan mengakhirinya secepat itu. Dari tadi bicara serius ternyata cukup menguras energi dan pikiran saya jadi ikut serius (emang biasanya enggak?)
KKN, dulu sewaktu masih pembekalan saya merasa KKN it sulit banget. Program inilah itulah atau apalah yang merupakan program wajib terlaksana selama KKN satu bulan. Bayangkan! Satu bulan harus menjalanakan berbagai macam program belum lagi ditambah program dari usulan teman-teman. Hemph!
Memang semua yang hanya kebanyakan teori hanya akan menjadi beban pikiran. Semua yang hanya dipikirkan tanpa mengambil tindakan hanya akan membuat wadah di kepala kita penuh. Jadi laksana mulut galon, pelaksanaan semua teori adalah lubang untuk membuang air galon agar galon kembali bisa diisi ulang. Karena kalo tidak dibuang dan terus diisi, galon akan penuh dan akhirnya air galon akan tumpah menjadi air mata. He he. Jadi sok puitis.
Sudah berjalan seminggu lebih tiga hari, saya dan kelompok 8 melaksanakan KKN di desa ini. SDA-nya lancar, air, listrik ya meski mati selama dua hari tapi cukup untuk keperluan kegiatan. Teman-teman saya yang dari Ngunut menyebar ke sepuluh desa yang masuk kawasan Kecamatan Besuki ini. Saya di kelompok 8 ini bersama dengan Kang Nasrul. Ada beberapa teman saya yang dalam kelompoknya tidak bergandengan dengan satu grup dari Ngunut. Saya saja kalau jadi mereka mungkin males-malesan karena harus mulai menjalin hubungan dengan orang-orang baru yang pasti belum kenal. Tapi alhamdulillah, kami semua dari STKIP Ngunut bisa berbaur karena memang rata-rata anak pondok itu mudah bergaul. Dan semoga saja KKN kami semua lancar. Amin.
Tulungagung, 15 Agustus 2015 06.03

Bebas Itu ...


Masih di hari yang sama, saya duduk sore di teras sambil mencari inspirasi buat tulisan hari ini. Terlihat beberapa burung beterbangan kesana kemari mengepakkan sayap kebebasan. Bebas. Apa arti kata itu untukmu? Apakah berarti melawan segala aturan untuk bisa berekspresi semaumu? Bukan, aku yakin kamu pun butuh yang namanya aturan.
Aturan diturunkan Tuhan pada manusia bukan untuk membatasi karena segala yang tercipta itu pasti terbatas kecuali diri-Nya. Aturan dalam agama digunakan untuk memberi tahu bagaimana cara hidup yang baik. Memberi penialaian apakah sesuatu itu patut untuk dilakukan atau tidak. Bagaimana mungkin seseorang tahu hal itu baik atau tidak jika dia tak punya batasan? Bagaimana kita tahu angka sembilan itu banyak jika kita tak punya rentetan nilai dalam hitungan? Mungkin terdengar sepele tapi sadar atau tidak kita semua kadang merasa bahwa hidup itu serba dibatasi. Mau ini tidak boleh, mau itu tidak boleh, trus mana yang boleh? Saat seperti kita ‘harusnya’ sadar bahwa ketidak bolehan kita dalam melakukan sesuatu adalah demi kebaikan kita juga. Apa baiknya? Dimana letak kebaikannya? Nah, itulah saat dimana kita harus menjadi pribadi yang cermat. Cermat dalam menyikapi masalah dan tidak terburu nafsu.
Tulungagung, 02 Juli 2015

Setan Lebih Bertauhid?


“Kang, tadi malam, Kyai ceramah tentang apa?” tanya Kang Ijo di tengah waktu istirahat dari tugas bersih-bersih sekolah.
“Tentang tauhid, Jo. Lha kamu tadi malam kemana kok nggak kelihatan?”
“He he. Saya ketiduran, Kang. Jadi, boleh dong kalau ....”
“Ya, ya. Tadi malam Kyai membicarakan kesalahan tentang penafsiran ketauhidan setan pada Allah yang saat ini banyak digunakan orang-orang ‘luar’ untuk menyindir ketauhidan manusia”
“Ha?! Setan bertauhid? Nggak salah, Kang?”
“Ya itu makanya Kyai membetulkannya. Gini, Jo. Ada orang-orang yang menafsirkan kisah perintah sujud kepada Nabi Adam dengan penafsiran yang salah. Ketika setan membangkang untuk menurut perintah sujud pada Nabi Adam, mereka menafsirkan bahwa setan itu membangkang karena tidak mau menduakan Allah. Mereka mengira bahwa dengan perintah sujud itu sama artinya syirik terhadap Allah”
Sejenak Kang Ijo mencerna keterangan Kang Item. “Kalau dipikir-pikir bisa juga benar kalau ternyata setan lebih bertauhid”
“Nah, kan? Hati-hati, Jo”
“Lha, kalau dipikir kan memang begitu, Kang”
“Jadi kamu mau mengatakan kalau malaikat sudah syirik dengan menuruti perintah Allah untuk bersujud pada Nabi Adam?”
“Wah, iya juga, Kang. Lha terus bagaimana dengan penjelasan Kyai?”
“Setan tidak bertauhid”
“Alasannya?”
“Karena saat itu sesungguhnya setan sedang menduakan Allah”
“Loh?”
“Karena mereka memilih ego mereka daripada Allah”
Kang Ijo kembali diam memikirkan jawaban Kang Item. “Masya Allah. Sampai segitu halusnya ya, Kang?”
Kang Item mengangguk mantap. “Masalah tauhid tidak bisa dianggap remeh, Jo. Karena dalam perkataan dan perbuatan kita, syirik yang halus sekalai bisa masuk dan merusak iman kita perlahan”
“Owh, karena itulah kita disuruh bersyahadat sebelum melakukan sholat?”
“Iya, Jo. Dan Kyai menambahkan, bahwa dari kisah sujud tadi kita bisa mengambil hikmah”
“Apa itu, Kang?”
“Kadang Allah menyuruh kita untuk melakukan hal yang tidak bisa dicerna bukan saja oleh akal tapi kadang hati ini juga tidak bisa mengerti akan perintah-Nya. Tetapi kita tetap harus berhusnudzon bahwa apapun yang diperintahkan-Nya adalah baik dan tak mungkin Allah menjerumuskan kita”
“Itu maksud dari bahwa semua takdir itu baik, Kang?”
“Ya, Jo. Tapi ingat, Allah tidak terikat aturan kewajiban untuk berbuat baik pada kita seperti kisah khilafnya Syekh Hasan Al-Asy’ari dengan gurunya sehingga menjadi dasar munculnya Ahlussunnah wal jamaah”
“Alhamdulillah” ucap Kang Ijo.
“Alhamdulillah” susul Kang Item.
Tulungagung, 07.41, 24 Mei 2015

Tukang Parkir


Kang Item sedang duduk merokok di bawah pohon asem. Dia sedang galau memikirkan dirinya sendiri. Perannya di masyarakat akhir-akhir ini mulai meningkat. Dari jadi muadzin, lalu imam sholat, imam jamaah yasin, dan beberapa hari kemarin dia ‘disowani’ beberapa orang yang meminta nasehat. Kang Item begitu asyik berpikir sampai-sampai Kang Ijo yang datang tak dihiraukannya.
“Assalamualaikum, Kang” sapa Kang Ijo pelan takut mengganggu konsentrasi seniornya.
“Waalaikumussalam” jawab Kang Item masih tak bergeming dari raut muka sebelumnya. Benar-benar terlalu mendramatisir keadaan sepertinya Kang Item ini. Kang Ijo demi melihat ekspresi Kang Item, dia diam. Hanya duduk menemani Kang Item sembari berdzikir.
“Alhamdulillah” ujar Kang Item tiba-tiba.
“Alhamdulillah” Kang Ijo ikut-ikutan berucap hamdalah. “Kenapa, Kang?”
“ini lho, Jo. Saya baru dapat ilmu lagi”
“Alhamdulillah, boleh dibagi, Kang” kata Kang Ijo penuh harap.
“Bisa bahkan harus”
“Alhamdulillah, monggo, Kang”
“Begini, Jo. Menjadi imam itu ternyata nggak jauh beda dengan menjadi tukang parkir”
“Loh?”
“Bentar, Jo. Masih bersambung”
“Owh, iya. Monggo dilanjutkan”
“Tukang parkir itu lusuh, pakaiannya seragam, bawaanya sempritan buat mengatur mobil parkir. Sedang yang diparkirkan itu pasti orang kaya, bajunya mentereng, mobilnya mewah. Itu gambarannya imam yang selalu merendah di hadapan para makmum. Hanya berkalung tasbih biar selalu ingat siapa yang memberi tasbih. Sedang makmum itu selalu ‘terlihat’ kaya, punya segalanya tapi nyatanya miskin petunjuk makanya mereka mencari imam biar dapat petunjuk”
“Tapi bukan petunjuk togel tho, Kang?” canda kang Ijo.
“Ya, bukanlah. Ngawur kamu”
“He he. Monggo dilanjutkan lagi”
“Dan jadi imam itu jangan lupa seragamnya”
“Apa itu, Kang?”
“Seragam itu mesti sama, jadi antar imam mushola sini dan mushola lainnya, haruslah sama dasarnya. Meskipun nanti selalu berbeda dalam penjabarannya”
“Ooo ....”
“Terus konsekuensinya. Jadi imam alias tukang parkir itu mesti menanggung kerugian dari makmum yang melaksanakan dawuhnya imam yang salah. Tukang parkir mesti mengganti rugi kalau sampai mobil yang diparkir sampai lecet padahal sudah mengikuti instruksi dengan benar”
“Kesimpulannya?”
“Kesimpulannya, jadi imam, entah itu imam mushola, imam organisasi, imam partai, bahkan imam negeri ini, jangan bangga kalau merasa jadi orang berpangkat. Pangkat kita nggak jauh beda dengan tukang parkir. Harusnya kita yang berpakaian seadanya, makan seadanya, bukannya malah makmum kita yang harusnya begitu”
“Alhamdulillah” ucap Kang Ijo.
“Alhamdulillah” tambah Kang Item.
“Sepertinya ada yang kurang, Kang?”
“Apa, Jo?”
“Alah emboh, Kang! Wahaha ....” kata Kang Ijo yang disambut tawa renyah Kang Item di bawah pohon asem.
Tulungagung, 09.05, 20 Mei 2015

Melihat Kepribadian Kita Dari Gaya Melihat Film


Assalamualaikum semuanya selamat pagi, selamat tersenyum dan tetap menjaga diri untuk selalu enjoy!
Pagi-pagi enaknya liat Spongebob Squarepants sambil ditemani kopi panas dan cemilan. Apalagi kalau ditambah pegangan tangan yang hangat, wiiiiih! Asyik pasti.
Spongebob? Buat anak muda? Kekanakan kaleee ... Tapi nggak bisa kita langsung menilai seperti itu. Liat siapa yang buat komik Naruto? Kekanakan? Liat siapa yang buat Final Fantasy? Kekanakan? Tapi itu yang buat, bukan yang seharusnya nonton? Oh, ayolah! Darimana kita bisa mendapat kata ‘seharusnya’ dalam pembahasan film? Apakah kita tidak boleh melanggar kata ‘seharusnya’ hanya karena malu disebut kekanakan? Justru kita yang menonton kartun ‘di jaman sekarang’ ternyata lebih bermoral  daripada tontonan orang dewasa. Tahu dong apa yang saya maksudkan?
Film, apa yang bisa Anda dapatkan dari menonton karya seni visual audio ini? Hiburan dari stress pekerjaan, tugas kuliah atau problem kehidupan? Atau inspirasi? Atau motivasi? Ataukah hanya iklan semata yang akan hilang begitu selesai?
Dari situlah saya mendapat inspirasi untuk mengkategorikan orang dari bagaimana cara mereka melihat film. Saya bukan psikolog, tak tahu banyak tentang macam-macam kepribadian dan hanya sekedar berbagi. Boleh kalian percayai boleh tidak. Ini hanya tulisan lepas yang bisa dikritik dan bisa diacuhkan. Yang jelas, saya percaya segala hal kecil yang kita lakukan selalu berimbas pada bagaimana kita menjalani hidup.
Ok, mari kita lihat Anda termasuk dalam kategori yang mana.
Pertama, orang yang melihat film hanya sebagai iklan semata. Dalam hal ini, Anda hanya menggunakan aktivitas melihat film sebagai pengisi waktu saja. Tak ada imbas apapun untuk kemudian Anda merasa bahagia, terinspirasi atau apalah, yang jelas tidak ada perubahan berarti dalam diri Anda ketika filmnya sudah selesai. Maka seperti itulah ketika Anda melihat keberlangsungan hidup di sekitar Anda. Anda melihat segala yang terjadi di luar Anda hanya selingan semata. Hanya sebuah kejadian yang tidak Anda pedulikan, mereka berjalan begitu saja tanpa ada makna buat Anda. Orang seperti ini biasanya cenderung tak peduli pada lingkungan sekitar, tertutup dan hanya mementingkan diri sendiri. Mementingkan bagaimana cara mencari uang dan isi perut daripada berkomunikasi dengan orang lain untuk sekedar berbasa-basi.
Kedua, orang yang melihat film karena tertarik dengan sinopsis dan atau jalan cerita yang katanya, menarik. Anda yang masuk dalam tipe ini, melihat film sebagai sebuah jalan hidup yang diimpi-impikan. Anda ingin sekali melihat jalan hidup orang lain, yang begitu Anda impikan akan terjadi pada diri Anda, melihat sesuatu yang berbeda dari apa yang Anda jalani selama ini. Anda ingin kejutan dalam setiap ceritanya, sesuatu yang membuat Anda penasaran bagaimana keberlanjutannya. Dan akan kecewa begitu ceritanya tidak seperti yang Anda tebak. Ada dua tipe dari orang yang seperti ini. Pertama, jika Anda tidak kecewa dengan ceritanya yang ternyata berbeda dengan tebakan Anda, maka Anda termasuk orang yang tidak suka memaksa orang lain untuk berperilaku seperti yang Anda inginkan. Anda cenderung menyerahkan segalanya pada sutradara kehidupan, atas apa yang terjadi di sekitar Anda. Meskipun itu sudah mainstream dan terlalu ‘biasa’. Dan sebaliknya, jika Anda merasa kecewa dan kurang puas jika ceritanya ternyata terlalu mainstream, maka Anda orang mungkin suka tantangan tapi suka bosan dengan ke’biasa’an yang mengelilingi Anda. Sehingga cenderung memaksakan ketertantangan Anda pada orang lain. Memaksa orang untuk membuat Anda merasa tertantang.
Ketiga, orang yang melihat film dan mendapatkan inspirasi atau motivasi setelah filmnya selesai. Anda dalam posisi ini melihat film sebagai suatu karya biasa pada awalnya. Tetapi ketika satu adegan memperlihatkan kejadian yang membuat Anda merasa mendapatkan pencerahan, Anda mulai tertarik dengan film ini dan penasaran bagaimana endingnya. Karena mungkin Anda akan menemukan jalan keluar dari permasalahan yang sedang Anda hadapi. Atau Anda merasa mendapatkan inspirasi bagaimana cara menjalani hidup yang baik untuk diri Anda. Orang yang seperti ini adalah orang yang melihat kehidupan sebagai sesuatu yang biasa pada satu saat dan melihatnya sebagai sesuatu yang menyenangkan pada saat yang lain. Bukannya plin plan, tapi orang seperti ini adalah orang pada umumnya.
Keempat, orang yang melihat film tanpa melihat genre atau bagaimana jalan ceritanya, atau berharap mendapat inspirasi, tetapi bisa melihat film sebagai sebuah cara lain untuk belajar. Memang mungkin pada awalnya Anda akan menganggap film sebagai sebuah hiburan, atau memang penasaran dengan jalan ceritanya, berharap mendapat inspirasi dan lainnya, tetapi sebelumnya Anda sudah berniat untuk bisa memetik pelajaran dari film yang Anda tonton. Entah itu di bagian akhir atau di bagian awal, yang penting Anda bisa belajar dari film tersebut. Orang seperti ini, adalah orang yang menganggap hidup adalah belajar tanpa membedakan dimana atau bagaimana dan kapan. Mereka adalah orang yang selalu optimis dalam hidup dan selalu mendapatkan ilmu dimanapun dan kapanpun.
Itulah tadi empat kriteria orang dilihat dari cara mereka melihat film, menurut saya yang bukan ahli psikologi dan tidak terlalu tahu bnayak tentang psikologi. Oh, ada satu lagi nih. Anda yang sering kali skip atau melompati adegan film karena sudah tahu apa yang akan terjadi (tapi bukan adegan dewasa lho) Anda termasuk orang yang cenderung terburu-buru. Tidak bisa menikmati hidup dan selalu merasa dikejar waktu.
Cukup sekian, selamat pagi dan belajarlah selalu dimanapun, kapanpun, dari apapun dan jangan mengedepankan penilaian Anda sebelum jelas apa yang Anda lihat.
Wassalamualaikum.
Tulungagung, 07. 34, 16 Mei 2015

Murah dan Mahal


Assalamualaikum dan selamat beraktifitas bagi yang lagi sibuk dan selamat membaca buat yang nggak terlalu sibuk.
Sekarang saya mau menyalurkan aspirasi saya lagi untuk rakyat yang belum sepenuhnya bisa dimasukkan dalam anggaran pendapatan negara. He he. Bicara ngawur biar nggal tidur tapi itu namnya ngelantur. Ok, serius! Saya mau menyalurkan pendapat saya, lagi. Tentang satu hal, sesuatu yang penting.
Jika saya bertanya, apakah sesuatu yang paling penting di semesta raya ini? Secara umum, bukan secara pribdai Anda. Saya yakin Anda akan menjawab, Tuhan. Ya, kenapa? Karena memang Dialah satu-satunya yang sejati. Yang lainnya hanyalah sesuatu yang kemudian ada dan ‘dianggap’ penting.
Mari bicara soal kendaraan. Apa kendaraan paling penting bagi Anda? Tentunya yang masih bisa berjalan mulus, tidak rewel dan yang irit bahan bakar. Tapi coba kita teliti. Jika Anda disuruh memilih antara motor asal jalan dengan moge alias motor gede, mana yang Anda pilih? Moge, bukan? Kenapa? Karena kita memang lebih mementingkan penampilan daripada tujuan utama kita membeli motor. Lebih sangar dan lebih gimana gitu kalau kita bisa punya moge terparkir di halaman rumah kita. Dan, itulah saya dan sebagian dari Anda.
Lalu mari kita beranjak ke pendamping. He he. Pasti semangat nih kalau bicara soal, pacar, kekasih, cinta dan asmara. Saya lempar lagi satu pertanyaan, jika Anda disuruh memilih antara wanita yang taat agama dan wanita yang cantik wajahnya tapi kurang taat agama untuk dijadikan pacar, mana yang Anda pilih? Saya kira Anda akan menjawab, wanita cantik yang kurang taat pada agama. Kenapa? Karena kita menjadikannya sebagai pacar. Masih pacar yang artinya nanti masih bisa dibina untuk menjadi sholehah. Itu kata nafsu Anda. Kenapa saya bilang begitu? Karena saya dan sebagian dari Anda lagi-lagi lupa apa yang penting. Kita hidup bukan untuk pacaran tapi untuk menikah. Lebih memilih pacaran seumur hidup Anda dengan segala keindahan pacaran, romansanya dan jalan ceritanya yang berliku-liku ataukah memilih menikah dengan satu orang sampai mati? Lalu kenapa kita memilih pacaran dahulu daripada langsung menikah? Ingin mencoba apakah dia benar-benar tepat untuk Anda? Memangnya dia itu barang promosi yang bisa dicoba sesuka hati lalu dibuang jika nggak cocok? Seberapa berharga seseorang jika hanya untuk mencari tahu cocok atau tidak? Ingat! Yang Anda pertaruhkan disini adalah harga diri Anda. Semakin banyak Anda punya mantan, maka sebenarnya semakin turun harga diri Anda. Kenapa? Karena Anda dihargai sama dengan barang promosi yang bisa dicoba oleh customer. Dan jika Anda merasa jika Anda adalah barang mahal yang hanya ada satu di dunia, merasa bahwa Anda eksklusif, hanya dimiliki orang-orang tertentu, Anda tahu harus memilih pacaran atau langsung menikah.
Terakhir mari kita bicara tentang waktu. Jika Anda punya waktu luang di malam hari dan belum mengantuk, mana yang Anda pilih, menghibur diri dengan melihat film, telepon seseorang, bermain game atau mencari ilmu? Jika Anda memilih menghibur diri tanpa mencoba mencari ilmu dari hiburan yang Anda nikmati, maka Anda rugi. Jika kita bisa melihat lebih jeli, kita akan selalu melihat dalam film kata-kata yang berisi motivasi, kata-kata yang mengandung makna yang dalam dan lainnya. Jangan abaikan itu. Karena kita tidak pernah tahu darimana kita bisa mengambil pelajaran. Tapi satu hal untuk diketahui bahwa orang yang cerdik bisa belajar dari segala hal.
Sekian, wassalam.
Tulungagung, 08.18, 27 April 2015

Belajar Lagi


“Kenapa ya semua kok terasa begitu berat, Kang? Semua ini begitu terasa argh! Saya seakan sudah nggak kuat lagi, Kang dengan semua ini” keluh Marno.
Kang Item mengangguk pelan penuh wibawa. Dia paham apa yang dirasakan Marno pasti serign dirasakan oleh sebagian besar dari kita. Ketika semua masalah terasa menumpuk dan begitu berat untuk menerima semua kenyataan. Saat dimana kita mungkin terbiasa lari menuju hal-hal yang malah membuat semuanya lebih buruk.
“Sampeyan pengen semua masalah sampeyan selesai?” tanya Kang Item tenang. Marno langsung mengangguk penuh harap. Dia benar-benar seperti menemui jalan buntu. Tak tahu harus kemana dan harus bagaimana.
“Sampeyan percaya takdir?”
“Loh? Ya percaya tho, Kang!” jawab Marno spontan.
“Apa yang sudah kita alami, semua itu ....” Kang Item memotong perkataannya dengan sengaja.
“Itu ya takdir yang sengaja diberitahukan pada kita” sambung Marno.
“Agar ....”
“Agar kita bisa belajar dari pengalaman”
“Sampeyan percaya al-Qur’an?”
“Lah, yo percaya tho, Kang” lagi-lagi Marno menjawab dengan semangat.
“Sampeyan percaya ayat yang mengatakan bahwa Allah tidak membebani hamba-Nya kecuali ....”
“Semampunya. Ya saya percaya tho, Kang”
“Percaya saja atau percaya banget? He he” kelakar Kang Item.
“Ya percaya bangetlah”
“Lha kok masih mengeluh? Bukannya adalah takdir bahwa sampeyan akan menghadapi masalah seberat ini? Bukankah masalah yang sampeyan hadapi pasti tidak melebih kemampuan sampeyan?”
Marno diam. Dia kena pukulan telak. “Iyo yo, Kang. Wah, saya kok malah nggak kepikiran ke situ?”
“He he. Ya namanya juga manusia, No. Pasti salah dan lupa. Kita itu bisa diibaratkan prajurit rendahan yang disuruh Sang Raja untuk melawan singa. Sang Raja pastinya sudah tahu seberapa besar kemampuan kita. Jadi singa yang akan dijadikan lawan kita juga sudah diukur oleh Sang Raja. Nah, tetapi ada kalanya, kita itu merasa kecil hati untuk melawan singa sedang Sang Raja tetap memaksa. Akhirnya di arena kita dihajar habis-habisan sama singa itu. Ketika tinggal selangkah lagi singa akan membunuh kita, maka kemudian crasss! Sang Raja sendiri yang akan membunuhnya untuk kita. Asalkan ....”
“Asalkan kita tetap percaya pada Sang Raja Diraja, begitu kan, Kang?”
“Mantep! Asalkan kita percaya bahwa Sang Raja akan selalu mengukur kemampuan kita dan akan datang untuk menolong kita”
Tulungagung, 09.10, 25 April 2015

Musibah Itu ...


Pagi itu Kang Ijo sedang duduk termenung. Terlihat wajahnya sayu memikirkan sesuatu. Kang Item jadi nggak tega melihat sahabatnya itu duduk sendirian sambil menghadap ke jalanan.
“Assalamualaikum” sapa Kang Item.
“Waalaikumussalam, Kang” jawab Kang Ijo sambil menjabat tangan Kang Item. “Kopi, Kang”, Kang Ijo menawarkan.
“Ya. Kamu kok kelihatannya sedih, Jo”
“Ah, ini lho, Kang. Saya lagi mikir”
“Lha iya, manusia itu mesti mikir, kalau nggak kan nggak ada bedanya dengan hewan? Ya nggak?”
“He he, iya, Kang”
“Lha terus kamu lagi mikir apa?”
“Ini, Kang. Sebenarnya apa sih tugas kita di dunia ini, Kang?”
“Lho? Bukannya di Al Qur’an sudah ada?”
“Yang mana?”
“Hemmm, makanya baca al Qur’an, Jo. Di Al Qur’an sudah disebutkan kalau kita diciptakan ...”
“Kalau yang itu aku juga tahu, Kang” potong Kang Ijo.
“Jo, memotong perkataan seseorang tanpa permisi itu nggak sopan. Apalagi posisi kamu sebagai penanya. Tahu?”
“Iya, Kang. Maaf”
“Ya, nggak apa-apa. Jadi kamu sudah tahu kalau penciptaan kita hanya untuk beribadah? Nah, terus apa yang kamu pikirin sampe kopinya dingin begini?” tanya Kang Item sambil menyeruput kopi.
“ Begini, Kang. Kok saya nggak pernah bisa merasakan kalau tugas saya itu beribadah? Saya nggak bisa merasa kalau saya ini diberi tanggung jawab sebagai ‘abid?”
“Atau lebih tepatnya, kamu nggak bisa merasakan kalau ibadah itu adalah tugas kamu?”
“Cocok!”
“Begini, Jo. Misalnya kalau kamu disuruh Kyai untuk membuat kopi. Apa yang bakal kamu lakukan?”
“Ya saya segera membuat kopi tho, Kang?”
“Nah, kira-kira apa bedanya sama tugas kita sebagai makhluk yang disuruh Sang Khalik untuk beribadah?”
“Eee, ...” Kang Ijo menunduk. Dia sedang berpikir lebih dalam.
“Mungkin karena yang menyuruh itu Kyai saya?”
“Yang lainnya?”
“Eee, ... Karena saya mengakui kalau beliau adalah Kyai yang harus saya hormati?”
“Nah, bagaimana kamu kok bisa sampai mengakui beliau sebagai seseorang yang kamu hormati?”
“Ya karena saya memang berniat mengabdi kepada beliau?”
“Atau lebih pasnya karena kamu sudah mengenal beliau. Ya, kan?”
Kang Ijo mengangguk mengiyakan.
“Coba kita ambil contoh lain lagi. Di tengah jalan kamu bertemu seseorang. Tiba-tiba kamu disuruh untuk membuatkannya kopi. Kamu mau nggak?”
“Ya enggaklah! Lha wong nggak kenal kok? Enak aja main suruh-suruh?! Emangnya saya siapanya dia?”
“ Nah itu,  Jo!”
“Itu apanya?”
“Karena kamu nggak kenal. Gimana kamu mau melaksanakan tugas dari seseorang yang kamu sendiri nggak kenal? Bagaimana kamau mau melaksankan ibadah sedangkan kepada Yang Memerintah saja kamu nggak kenal?”
Kang Ijo tertunduk lesu. Kata-kata itu begitu merasuk. Begitu dalam terasa dalam hatinya.
“Lalu aku harus bagaimana, Kang?”
“Kamu harus belajar mengenal dia sambil terus melaksanakan tugasnya meski kamu belum belum kenal”
“Caranya bagaimana?”
“Menurutmu bagaimana cara kita berkenalan dengan Dzat yang tak sama dengan makhluk-Nya?”
“Selalu menyebut asma-Nya?”
“Betul. Itulah mengapa kita harus lama-lama wiridan sehabis sholat maupun di luar sholat”
“Biar semakin kenal?”
“Benar, Jo. Maka itulah salah satu arti dari man arafa nafsahu arafa robbahu, siapa yang kenal dirinya maka kenal Tuhannya”
“Mantep, Kang. Terima kasih. Monggo kopinya disruput lagi”
“Halah, sudah dingin, Jo”
“Lah? Perasaan baru saya buat tadi kok, Kang?”
“Halah, mboh!”
Tulungagung, 06.53, 07 April 2015

Musik dan Kepuasan Hati


Tampak seorang anak muda naik ke atas panggung. Setelah basa basi dan perkenalan, si anak muda mulai bernyanyi. Bu Ida begitu fokus mendengarkan suara lembut si anak muda di televisi sampai tidak mendengar anaknya, Komar salam dan masuk kamar. Keluar dari kamarnya, Komar sudah berganti kaos oblong. Ia lalu duduk di samping ibunya yang masih konsen lihat salah satu acara pencarian bakat.
“Ah, suaranya fals begitu masih maksa ikut” celetuk Komar.
“Heh! Setidaknya dia nggak kayak kamu yang setiap malem nggenjreng di perempatan nyanyi nggak jelas!” sanggah ibunya.
“Biarin! Kan Komar puas, Mak. Di sininya itu enak” kata si Komar sambil menunjuk dadanya.
“Halah! Enaknya di kamu, tapi nggak enaknya satu RT kena” jawab Bu Ida ketus.
“Lah? Daripada mereka yang di tipi itu. Nyanyinya cuma buat uang, terkenal, kaya. Lebih mending saya kan, Mak. Meskipun bikin ribut sekampung tapi murni untuk kepuasan hati”
“Tahu apa anak kecil soal kepuasan hati?!” kata Bu Ida sambil mencubit gemas anaknya yang sebentar lagi menghadapi ujian.
Tulungagung, 22.54, 22 April 2015

Pasrah


Mulyadi masih menunggu. Matanya tak berkedip demi mendengar sepatah dua patah kata dari Kang Item. Konsultasi, itu yang sedang dilakukannya.
Fuuuuh! Kang Item mengepulkan asap rokok perlahan. Kang Item bukannya nggak mau menjawab. Dia bisa langsung menjawab, tapi dia ingin jawabannya sebisa mungkin membuat Mul paham.
“Be ....”
“Assalamualaikum!”
Belum sempat Kang Item menjawab, Kang Ijo menyapa.
“Waalaikumussalam” jawab Kang Item dan Mul.
“Wah, kopi Kang?” tangan Kang Ijo langsung menyambar cangkir putih dan menyeruputnya. “Mantep, Kang”
“Ya manteplah, lha wong gratis” ujar Kang Item disambut cengenges Kang Ijo.
“Kang ....” kata Mul lirih sambil menengok ke arah Kang Item.
“Oh, ya. Jadi begini, Mul. Memang ....”
“Ngomongin apa, Kang?”
“Haish! Jangan menyela orang yang sedang berbicara, Jo! Nggak sopan”
Kang Ijo langsung menutup mulutnya dengan tangan.
“Begini, Mul. Memang semua sudah digariskan. Tapi coba kita lihat di Al Qur’an. Ternyata ada lho perintah untuk makan dan minum. Nah?”
“Maksudnya, Kang?” tanya Mula masih belum paham.
“Kamu kan tadi nanyanya begini, kenapa kok saya merasa nggak punya tujuan hidup? Seakan semua mengalir saja. Ketika saya jawab bahwa kamu harus bermimpi, mempunyai cita-cita, mempunyai rencana masa depan dan sebagainya. Kamu menjawab bahwa semuanya pasti kalah dengan kehendak Allah. Nah, kalau di Al Qur’an saja Allah memerintahkan kita untuk sekedar makan, maka bagaimana dengan yang lainnya? Yang lebih besar urusannya?”
Kang Ijo mengacungkan tangan. “Ya, Jo. Mau ngomong apa?”
“Kalau boleh saya jelaskan lagi, ternyata untuk urusan remeh sekelas makan minum saja kita diperintahkan, apalagi untuk urusan mencari kerja, mempunyai mimpi, mempunyai rencana, mempunyai istri mempunyai rumah dan segala hal yang besar porsinya. Begitu ya, Kang?”
Kang Item mengangguk setuju dengan kesimpulan Kang Ijo.
“Bagaimana, Mul?”
Mulyadi mengangguk perlahan. Lalu mesem sendiri. Kang Ijo yang heran bertanya, “Kenapa, Mul?”
“Enggak, Kang. Ternyata saya sudah salah besar selama ini. Saya masih kurang jeli untuk bisa melihat masalah saya dari sudut lain”
“Maksudnya?” Kang Ijo nggak tahu maksud perkataan Mul.
“Saya kepikiran begini tadi. Kalau memang menurut saya hidup selalu kalah dengan kehendak Allah, kenapa saya nggak memasrahkan makan minum saya kepada-Nya? Bukannya itu maksud dari Kang Item tadi?” Mulyadi menoleh pada Kang Item.
“Wah, saya malah nggak kepikiran kesitu, Mul” Mulyadi dan Kang Ijo terkejut. Lalu disambut tawa ketiganya.
Tulungagung, 06.35, 11 April 2015

Al Qur'an


Ketika Kang Ijo datang, Kang Item sedang bersama seseorang. Kang Ijo ingin ikut bergabung karena kelihatannya ngobrolnya asik. Tapi begitu Kang Ijo mendekat, orang yang bersama Kang Item pamit pergi.
“Eh, Jo. Sini”
“Siapa tadi, kang?”
“Oh, teman. Dia sedang merasa gundah”
“Gundah kenapa, Kang?”
“Dia sedang dirundung banyak masalah saat ini. Dia sudah berkali-berkali berdoa agar semua masalahnya cepat karena dia yakin bahwa Allah akan mengabulkan segala doa yang dipanjatkan kepadanya. Tetapi ....” Kang Item menghisap rokoknya yang tinggal pucuknya.
“Tetapi apa, Kang?”
“Tetapi ketika kutanya, bagaimana dengan Al Qur’annya dia menjawab kalau dia jarang sekali membaca Al Qur’an. Disitu saya kadang sedih, Jo”
“Sedih kenapa, Kang?”
“Sedih karena kita kebanyakan lupa dengan arti dan makna Al Qur’an yang sebenarnya”
“Maksudnya, Kang?”
“Kamu nanya terus dari tadi?” Kang Item mulai jengkel.
“Loh, namanya juga orang nggak tahu ya nanya tho, Kang? Lagian katanya malu bertanya sesat di jalan. Nah, gimana kalau tadi saya hanya diam dan mengartikan perkataan Kang Item dengan arti yang berbeda dengan yang dimaksudkan oleh sampeyan? Bukannya malah benar-benar tersesat saya?”
“Iya, iya. Menang kamu”
“Eh, ini bukan tentang menang atau kalah, Kang. Diskusi itu bukan untuk saling menyerang tapi saling menggandeng tangan”
“Oke, oke. Sampai mana tadi kamu nanya?”
“Tentang kita yang sering lupa dengan arti dan makna sebenarnya Al Qur’an”
“Ehm, jadi kadang kita terlalu menganggap membaca Al Qur’an hanya sebagai ibadah semata, hanya sebuah perintah yang harus dilaksanakan. Padahal seperti halnya ibadah lainnya, kita mengesampingkan atau bahkan masa bodoh dengan arti perintah tersebut”
“Saya kok kurang paham ya, Kang?”
“Begini, Jo. Al Qur’an itu Kalamullah kan?”
“Betul”
“Nah, kalau diartikan kan wahyu Allah atau bahasa kasarnya perkataan Allah”
Kang Ijo mengangguk mantap.
“Nah, kalau saya mengartikannya sebagai surat balasan, Jo”
“Surat balasan?” kata Kang Ijo penuh penuh tanya.
“Iya, Jadi ketika kita berdoa kan sebenernya kita sedang bertanya kepada Allah? Nah, terus bagaimana Allah menjawabnya?”
“Ya, lewat pengabulan doanya tho, Kang?”
“Kalo yang dikabulkan tetapi berbeda keinginan kita minta?”
“Ya mungkin ditunda sampai kita siap”
“Selain itu?”
“Wah, nggak tahu saya, Kang”
“Nah, disitulah Al Qur’an sebagai surat balasan dalam pandanganku, Jo”
“Menjawab tanpa pengabulan dan tanpa penundaan?”
“Bisa jadi seperti itu”
“Kok cuma bisa jadi?”
“Ya, tergantung apakah kita benar-benar jeli atau tidak? Bukankah Al Qur’an adalah perkataan yang pastinya mengandung arti sesuatu? Kenapa kita nggak mencoba mengartikannya? Mungkin saja kita nanti bisa menemukan pemecahan masalah kita dalam artinya”
“Kalau tidak?”
“Kalau tidak, maka Al Qur’an telah menyambungkanmu dengan Allah, kau telah membaca buku Tuhan. Dan ingat buku Tuhan bukanlah sembarang buku yang hanya memberi sensasi kesenangan, kesedihan keprihatinan dan semangat sesaat”
“Seperti buku-buku seperti saat ini?”
“Betul. Aku jadi ingat wahyu pertama yang turun, Jo”
“Apa, Kang?”
“Halah! Kamu itu pura-pura ya?”
Kang Ijo meringis penuh arti. Kang Item membuang rokoknya yang telah mati dari tadi jauh ke belakang.
Tulungagung, 07.05, 08 April 2015

TAKDIR


Assalamaualaikum.
Siang mas bro! Masih semangat dong siang-siang seperti ini? Kalau nggak semangat ya disemangatin!
Habis belanja tas buat notebook baru sama pelindung keyboard. Kadang terpikir, perlu nggak sih pelindung keyboard? Kan kalau memang perlu seharusnya dari produsen sudah disediakan kayak handphone. Handphone yang gorilla glass sebenarnya sudah tidak perlu pelindung layar, namanya aja gorilla, masak masih perlu dilindungi? Tapi perlu juga dilindungi, soalnya komunitas gorila sekarang sudah sedikit. He he. Tapi kalau buat jaga-jaga, ya boleh saja.
Sebelumnya sih kepikiran mau belinya besok, soalnya tempat belinya agak jauh. Inginnya sekalian pulang, jadi kan irit BBM. Tapi kebetulan, eh nggak ada yang namanya kebetulan, jadi dirubah saja. Tapi kemudian ada temen yang mau ke sana, sekalian sajalah. Tapi ternyata dia pergi karena mau interview kerja. Bukan interview sebenarnya, hanya kemarin ditawari kerja kemudian dia mau mencari penjelasan lebih lanjut sebelum menerima atau menolak tawaran tersebut.
Kami masuk ke perumahan. Memang masih agak di pinggiran kota, tapi sudah lumayan luas area perumahannya. Kami berhenti di depan masjid, menunggu orang. Tak lama, sebuah motor putih datang dan langsung mengantar kami menuju ke sebuah rumah agak jauh dari masjid tadi. Sebuah mobil terparkir di halaman depan. Kami masuk dan disambut ramah.
takdir walk alone
Perbincangan dimulai dengan pengalaman Mas Dedi, seorang pimpinan koran lokal. Mulai dari ceritanya yang dulu pernah kalap (semacam dituntun makhluk halus menuju sebuah tempat) sewaktu mondok di Banyuwangi. Lalu tentang keadaanya yang selalu diremehkan keluarganya karena dulu kerjanya serabutan, pernah jadi kuli bangunan di negara tetangga sampai jadi bosnya kuli, jualan roti, jualan nasi goreng dan lainnya. Lalu dia jenuh. Jenuh dengan pekerjaannya. “Kalau yang bekerja di lapangan, biasanya jenuh karena harus kepanasan, kerja berat dan lainnya. Kalau yang di kantor, jenuh karena harus duduk seharian dan tugas yang menumpuk” katanya.
Lalu dia bangkit dan entah bagaimana menjadi seorang yang berkecimpung di dunia pers. “Yang penting sampeyan yakin, maka sampeyan bisa menjadi apapun. Manusia itu akan terus berkembang. Bukannya sampeyan nggak pernah menyangka bahwa sampeyan akan jadi dewasa seperti ini? Lah, siapa yang membuat kita berkembang? Tetap Yang Memberi Hidup” tambahnya.
Setelah basa-basi, ternyata pekerjaannya berhubungan dengan dunia pers. Pantas saja tadi ada stiker pers di jendela depan. Pilihannya ada dua, mau jadi jurnalis atau jadi marketing iklan. Sebenarnya saya juga tertarik. Tapi status saya masih belum memungkinkan untuk kerja full time di pers. Saya tertarik ketika Mas Dedi mengatakan soal tulis menulis. Kalau saja, ah! Memang belum saatnya.
Memang segala sesuatu di dunia ini ada ‘kala’nya. Ada waktunya sendiri. Semua akan indah pada waktunya. Tapi tetaplah waspada karena kesempatan tidak datang dua kali. So, keep your eyes on!
Tulungagung, 18:55, 07 April 2015

TUGAS


Pagi itu Kang Ijo sedang duduk termenung. Terlihat wajahnya sayu memikirkan sesuatu. Kang Item jadi nggak tega melihat sahabatnya itu duduk sendirian sambil menghadap ke jalanan.
“Assalamualaikum” sapa Kang Item.
“Waalaikumussalam, Kang” jawab Kang Ijo sambil menjabat tangan Kang Item. “Kopi, Kang”, Kang Ijo menawarkan.
“Ya. Kamu kok kelihatannya sedih, Jo”
“Ah, ini lho, Kang. Saya lagi mikir”
“Lha iya, manusia itu mesti mikir, kalau nggak kan nggak ada bedanya dengan hewan? Ya nggak?”
“He he, iya, Kang”
“Lha terus kamu lagi mikir apa?”
“Ini, Kang. Sebenarnya apa sih tugas kita di dunia ini, Kang?”
“Lho? Bukannya di Al Qur’an sudah ada?”
“Yang mana?”
“Hemmm, makanya baca al Qur’an, Jo. Di Al Qur’an sudah disebutkan kalau kita diciptakan ...”
“Kalau yang itu aku juga tahu, Kang” potong Kang Ijo.
“Jo, memotong perkataan seseorang tanpa permisi itu nggak sopan. Apalagi posisi kamu sebagai penanya. Tahu?”
“Iya, Kang. Maaf”
“Ya, nggak apa-apa. Jadi kamu sudah tahu kalau penciptaan kita hanya untuk beribadah? Nah, terus apa yang kamu pikirin sampe kopinya dingin begini?” tanya Kang Item sambil menyeruput kopi.
“ Begini, Kang. Kok saya nggak pernah bisa merasakan kalau tugas saya itu beribadah? Saya nggak bisa merasa kalau saya ini diberi tanggung jawab sebagai ‘abid?”
“Atau lebih tepatnya, kamu nggak bisa merasakan kalau ibadah itu adalah tugas kamu?”
“Cocok!”
“Begini, Jo. Misalnya kalau kamu disuruh Kyai untuk membuat kopi. Apa yang bakal kamu lakukan?”
“Ya saya segera membuat kopi tho, Kang?”
“Nah, kira-kira apa bedanya sama tugas kita sebagai makhluk yang disuruh Sang Khalik untuk beribadah?”
“Eee, ...” Kang Ijo menunduk. Dia sedang berpikir lebih dalam.
“Mungkin karena yang menyuruh itu Kyai saya?”
“Yang lainnya?”
“Eee, ... Karena saya mengakui kalau beliau adalah Kyai yang harus saya hormati?”
“Nah, bagaimana kamu kok bisa sampai mengakui beliau sebagai seseorang yang kamu hormati?”
“Ya karena saya memang berniat mengabdi kepada beliau?”
“Atau lebih pasnya karena kamu sudah mengenal beliau. Ya, kan?”
Kang Ijo mengangguk mengiyakan.
“Coba kita ambil contoh lain lagi. Di tengah jalan kamu bertemu seseorang. Tiba-tiba kamu disuruh untuk membuatkannya kopi. Kamu mau nggak?”
“Ya enggaklah! Lha wong nggak kenal kok? Enak aja main suruh-suruh?! Emangnya saya siapanya dia?”
“ Nah itu,  Jo!”
“Itu apanya?”
“Karena kamu nggak kenal. Gimana kamu mau melaksanakan tugas dari seseorang yang kamu sendiri nggak kenal? Bagaimana kamau mau melaksankan ibadah sedangkan kepada Yang Memerintah saja kamu nggak kenal?”
Kang Ijo tertunduk lesu. Kata-kata itu begitu merasuk. Begitu dalam terasa dalam hatinya.
“Lalu aku harus bagaimana, Kang?”
“Kamu harus belajar mengenal dia sambil terus melaksanakan tugasnya meski kamu belum belum kenal”
“Caranya bagaimana?”
“Menurutmu bagaimana cara kita berkenalan dengan Dzat yang tak sama dengan makhluk-Nya?”
“Selalu menyebut asma-Nya?”
“Betul. Itulah mengapa kita harus lama-lama wiridan sehabis sholat maupun di luar sholat”
“Biar semakin kenal?”
“Benar, Jo. Maka itulah salah satu arti dari man arafa nafsahu arafa robbahu, siapa yang kenal dirinya maka kenal Tuhannya”
“Mantep, Kang. Terima kasih. Monggo kopinya disruput lagi”
“Halah, sudah dingin, Jo”
“Lah? Perasaan baru saya buat tadi kok, Kang?”
“Halah, mboh!”
Tulungagung, 06.53, 07 April 2015

Mengatasi Sakit Gigi Geraham

Argh! Benar ternyata apa yang dikatakan orang, sakit gigi itu melebihi rasa sakitnya hati. Meski saya belum pernah sakit hati (masa?). Bener-bener nih sakit gigi bikin ubun-ubun mendidih. Entah mungkin karena ada faktor kimia atau faktor tulang rahang yang terlalu sempurna sehingga dua hari terakhir ini saya merasakan sakit gigi yang beroperasi di daerah geraham bawah bagian belakang.
Langsung saya kepikiran dengan yang namanya pijat refleksi untuk meredakan sakit gigi geraham. Sreet! 10 halaman pertama hampir sama sumbernya dan seperti biasa artikelnya kembar. Copy-paste mungkin. Saya sebenarnya sudah pernah mengalami sakit seperti saat ini kira-kira sepuluh atau malah setahun yang lalu. Beneran, penyakit gigi geraham bawah saya ini seperti peyakit tahunan. Selalu muncul di saat yang tak terduga, dan jelas saya tak pernah mengirimnya undangan untuk menyambangi rentetan gigi putih saya.
Ok, kembali ke Googling. Saya sebenarnya masih ingat mengunduh sebuah gambar yang menunjukkan dimana saja titik yang perlu dipijat untuk mengurangi bahkan menghilangkan sakit gigi. Hanya saja karena faktor usia, eh faktor kesibukan akhirnya saya lupa menaruh gambar tersebut dimana. Dan begitu muncul gambar titik refleksi untuk meringankan sakit gigi saya ini, saya langsung pencet sejadi-jadinya karena semua hal yang sakit kadang perlu dibuat lebih sakit agar sehat kembali. Ini filosofi saya yang belum pernah diujicobakan kepada siapapun kecuali pribadi saya sendiri.
Dan, percaya atau tidak, gigi saya malah tambah sakit. Ha ha ha. Untuk beberapa saat saya biarkan mungkin efeknya akan terasa agak lama. Kan lucu kalau obat langsung bisa terasa efeknya?
Dan siang hari saya tiba-tiba ingat dalam sebuah kitab kuning yang pernah saya pelajari, ada doa untuk meredakan sakit gigi. Begini bunyinya dalam kitab Mukhtarul Achaadiits, 
اعوذ بعزة الله وقدرته من شر ما اجد من وجعى هذا 
Sambil menempelkan tangan kanan ke pipi dimana gigi sakit.
Dan sekali lagi, saya diberi jalan oleh Sang Perencana Takdir, dimana saya kembali lupa dan kata orang sih saya mencicil pikun, semoga saja tidak, Amin.
Jadi kemudian saya baru ingat kalau bodrex ternyata bisa juga mengatasi sakit gigi. Hayo! Siapa yang juga baru tahu? Bisa dilihat di bungkusnya kalao tidak percaya. Tapi khusu bodrex biasa lho. Dan akhirnya saya putuskan untuk minum bodrex sore ini setelah mandi dan makan sore. Meski sebenarnya okenya bodrex adalah bisa diminum setiap saat, tapi saya lebih mengutamkan rasa lapar. Ha ha ha. Sekian terima kasih.
Tulungagung, 15 Agustus 2015, 16.46